Selasa, 21 November 2017

Makalah Ke-PGRI-an Tentang Urgensi Pendidikan Toleransi Dalam Wajah pembelajaran Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan



KARYA ILMIAH

URGENSI PENDIDIKAN TOLERANSI DALAM WAJAH
PEMBELAJARAN SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS PENDIDIKAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ke-PGRI-an
Dosen Pengampu : Dr. H. Sunardjo, SH., M.Hum


Disusun Oleh :

Nama                    : Halimatus Sakdiyah
NPM           : 1622211024
Prodi           : Ekonomi II A



STKIP PGRI BANGKALAN
TAHUN AJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas karya ilmiah ini yang berjudul ”URGENSI PENDIDIKAN TOLERANSI DALAM WAJAH PEMBELAJARAN SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN”
Karya Ilmiah ini dibuat guna memenuhi syarat untuk Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatNyalah akhirnya karya ilmiah ini telah selesai disusun untuk memenuhi tugas materi pendidikan ke-PGRI-an.
Tugas ini disusun agar mahasiswa atau para pembacanya dapat mengetahui betapa pentingya menumbuhkan rasa toleransi dalam suatu pendidikan agar mencetak pendidik yang berkualitas. Dalam proses pemyusunan karya ilmiah ini, penyusun berupaya mengumpulkan informasi dari berbagai referensi agar dapat merumuskan pokok-pokok bahasan.
Semoga karya ilmiah ini dapat membantu memperluas wawasan mahasiswa ataupun para pembacanya tentang pendidikan toleransi dalam pembelajaran.  Tentu saja karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami selaku penyusun makalah ini mohon maaf atas segala kekurangan yang ada, kami selalu menanti saran dan kritik dari dosen pembimbing maupun pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik lagi kedepannya.




Bangkalan, 07-Juli-2017


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………… i

DAFTAR ISI………………………………………………………………….  ii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar belakang………………………………………………………...  1

B.    Rumusan masalah……………………………………………………... 3

C.    Tujuan Penulisan…………………………………………………….... 3

D.    Kajian teori…………………………………………………………….. 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Toleransi Termuat dalam Pendidikan Multikulturalisme…….. 5

2.2 Pendekatan Multikultural untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan……. 7

2.3 Urgensi Pendidikan Toleransi………………………………..……………  9

2.4 Peranan Pendidik dalam Penanaman Toleransi…………………………… 11

2.5 Tinjauan Tentang Sikap…………………………………………………… 12

2.6  Tinjauan Tentang Toleransi………………………………………………. 13

2.7 Penelitian………………………………………………………………….. 17

2.8 Metode…………………………………………………………………….. 19

2.9 Hasil penelitian……………………………………………………………. 19

BAB III PENUTUP

Kesimpulan…………………………………………………………………..   20

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..   22

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Masalah Pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia karena pendidikan akan membantu manusia dalama mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan dilakukan melalui proses pembelajaran dikenal dan telah diakui masyarakat.Perkembangan dunia pendidikan dari tahun ke tahun mengalami perubahan seiring dengan tantangan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing di era globalisasi. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa indonesia adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran serta perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Namun demikian mutu pendidikan yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Perbaikan yang telah dilakukan pemerintah tidak akan ada artinya jika tanpa dukungan dari guru, orang tua, siswa, dan ma syarakat. Berbicara tentang mutu pendidikan tidak akan lepas dengan proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar, guru harus mampu menjalankan tugas dan peranannya.
Belajar mengajar merupakan sebuah proses dengan menggunakan berbagai macam metode pembelajaran sehingga siswa memperoleh pengetahuan, pemahaman,dan carab ertingkah laku yg sesuai dengan kebutuhan dan tjuan pendidikan. Pada suatu proses pembelajaran diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Proses pembelajaran yang dapat mencapai tujuan adalah proses belajar mengajar yang mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektifitas layanan dan pengembangan. Konsekuensi dari suatu inovasi pendidikan, serta proses pembelajaran yang melatih siswa baik secara individu maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Belajar mengajar merupakan suatu proses berkesinambungan dan tidak terbatas pada penyampaian materi pelajaran di kelas saja, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana agar materi yang diterima siswa di kelas dapat diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan menu njukkan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah sebagian besar masih dilakukan secara konvensional dengan metode ceramah dan mencatat.
Metode pada dasarnya adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan pelajaran kepada siswa dengan tujuan untuk mempermudah penyampaian materi dan menjadikan siswa lebih mudah menyerap semua ilmu yang telah diterimanya. Penggunaan metode dapat membangkitkan motivasi dan minat siswa, membantu meningkatkan pemahanian, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data dan memadatkan informasi.
Penggunaan metode bukan hanya membuat proses pembelajaran lebih efisien, tetapi juga membantu siswa menyerap ma teri belajar lebih mendalam dan utuh. Bila hanya dengan mendengarkan informasi verbal dari guru saja, siswa mungkin kurang memahami pelajaran secara baik. Tetapi jika hal itu diperkaya dengan kegiatan melihat, mendengar, menyentuh dan mengalami sendiri, maka pemahaman siswa pasti akan lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil belajar atau prestasi belajar. Selain itu, perkembangan social emosi siswa juga mampu terstimulus dengan baik.  
Apabila perkembangan sosial emosi siswa distimulus dengan baik, maka rasa sosial emosi siswa akan berkembang dengan positif dan optimal, sehingga nantinya siswa mampu terjun ke masyarakat dengan baik. siswa mampu bersikap toleransi terhadap orang lain, mampu mengendalikan emosi negative dan tidak temperamental, mau menghargai pendapat orang lain, serta bersikap bijak dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga siswa tumbuh menjadi generasi yang baik dan warga masyarakat yang berkualitas, karena cerminan bangsa yang baik adalah bangsa yang mempunyai warga yang bersikap baik, sopan, toleran serta perduli dengan sesama.
Kondisi generasi dewasa ini sangatlah memprihatinkan ditengah pesatnya kamajuan informasi dan teknologi, yaitu siswa tumbuh dalam lingkungan yang kurang kondusif dalam membentuk jiwa yang social is karena pengaruh kehidupan lingkungan yang cenderung untuk hidup masing-masing tanpa memperdulikan orang lain atau lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya kondisi tersebut berdampak pada siswa, yaitu anak tumbuh dan berkembang dengan kurang memiliki jiwa sosial terutama sikap toleransi terhadap sesama serta anak menjadi kurang peka terhadap situasi dan masalah yang terjadi pada lingkungan disekitarnya mereka lebih cenderung perduli dengan kebutuhan dirinya sendiri dan kurang menghargai orang lain. Seperti halnya permasalahan yang dihadapi siswa kelas VIIA SMPN 1 Tegineneng yaitu: kemampuan siswa dalam bersikap toleransi sangat rendah. Bersikap toleransi adalah bersikap menghargai dan memperdulikan orang lain, siswa-siswi kelas VIIA SMPN 1 Tegineneng kurang memiliki sikap toleransi dan rasa empati terhadap orang lain mereka cenderung egois dan mau menang sendiri kurang memiliki rasa hormat dan menghargai orang lain.         
Dari pengamatan peneliti siswa kelas VIIA SMPN 1 Tegineneng yang berjumlah 24 siswa, ada 15 siswa yang mempunyai kemampuan bersikap toleransi yang rendah dan hanya ada 9 siswa yang mempunyai kemampuan bersikap toleransi cukup baik jadi hanya sekitar 37,5% dari siswa dalam satu kelas yang mempunyai kemampuan bersikap toleransi cukup baik. Bila masalah ini tidak segera mandapat solusi maka sangatlah sulit bagi siswa untuk dapat menghargai orang lain dan nantinya siswa kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan serta kurang memiliki rasa sosial dan empati terhadap orang lain. Hal ini akan mengakibatkan siswa menjadi bersikap egois serta mau menang sendiri tanpa menghargai dan menghormati orang lain, anak juga mempunyai sifat yang tidak mau perduli dengan lingkungan.
Metode bermain peran adalah salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan pembelajaran siswa, karena dengan bermain dalam berbagai macam peran siswa akan mampu mengembangkan diri untuk bersikap toleransi/menghargai terhadap orang lain, dengan bermain peran siswa juga akan belajar untuk dapat mendalami berbagai macam karakter dan memahami kebaikan dan keburukan suatu karakter dari sebuah peran. Bermain peran dilakukan dengan
memberikan pengarahan dan bimbingan serta membangkitkan perasaan positif pada siswa akan menstimulus siswa untuk mampu menarik kesimpulan dari arti suatu peran didalam bermain peran, siswa bisa meniru sikap/perilaku yang baik dari tokoh serta bisa merasakan akibat dari perilaku tokoh peran yang tidak baik dan anakpun bisa memahami perasaan orang lain, sehingga akan tumbuh sikap bertoleransi pada diri siswa.
Hal ini sependapat dengan Roestiyah (2001: 90) bahwa:“Dengan metode bermain peran memiliki, perasaan orang lain; tepo seliro dan toleransi, karena dalam bermain peran siswa dapat menghayati peranan apa yang dimainkan, mampu menempatkan diri dalam situasi orang lain yang dikehendaki dalam bermain peran. Dalam bermain peran siswa dapat mempelajari watak orang lain, cara bergaul dengan orang lain, cara mendekati dan berhubungan dengan orang lain, dalam situasi itu mereka harus mampu memecahkan masalah. Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk mengangkat masalah ini menjadi penelitian dengan judul “URGENSI PENDIDIKAN TOLERANSI DALAM WAJAH PEMBELAJARAN SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN”
Sekolah, guru, pendidikan, merupakan bagian yang saling terintegrasi. Karakter pendidikan hendak dibangun dengan tujuan siswa mampu menanggapi serta memfilter persoalan pendidikan termasuk isu sosial didalamnya. Pendidikan toleransi harusdiupayakan lebih kuat, lebih melekat. Guru harus tanggap dan tidak bersikap eklisivitas. Dengan mewabahnya marginalsme, bagaikan virus yang cepat menjalar dan menyebar diberbagai aspek satuan pendidikan. Sifat rasisme ini bukan sifat alamiah manusia. Untuk itu penyebarannya sangat mungkin dimusnahkan. Praktik intoleransi di dalam lini pendidikan memang hasus disikapi dengan bijaksana. Salah satunya dengan membangkitkan kembali roh pendidikan toleransi yang selaras dengan pendidikan multikulturalisme. Jika perilaku intoleran dan rasisme ini semakin merasuk ke dalam dunia pendidikan, sehingga ada sikap preventif dalam rangka mengantisipasi sikap intoleransi pendidikan. Pendidikan memang tidak bisa dipisahkan dari gejolak sosial yang ada di masyarakat.

  1. Rumusan Masalah

1.     Bagaimana pendidikan toleransi dalam pendidikan Multikulturalisme?
2.     Apakah pendekatan Multikultural dapat meningkatkan kualitas pendidikan?
3.     Apa yang dimaksud urgensi pendidikan?
4.     Peranan Pendidik dalam Penanaman Toleransi?
5.     Bagaiamana cara meninjau sikap seseorang?
6.     Bagaiamana cara meninjau sikap toleransi?

  1. Tujuan Penulisan

1.       Untuk mengetahui pendidikan toleransi dalam pendidikan Multikulturalisme
2.       Untuk mengetahui pendekatan Multikultural yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan
3.       Untuk mengetahui makna urgensi pendidikan
4.       Untuk mengetahui peranan pendidik dalam penanaman toleransi
5.       Untuk mengetahui tinjauan sikap
6.       Untuk mengetahui tinjauan toleransi


  1. Kajian Teori
Andersen dan Cusher (1994:320) mengemukakan pendapat bahwa pendidikan multicultural sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, dipertegas James Banks (1993: 3) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Dimana dengan adanya kondisi tersebut sebuah komunitas mampu untuk menerima perbedaan dengan penuh rasa toleransi.
James Bank menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu:
1. Content Integration, yaitu
mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu.
2. The knowledge construction process,
 yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran.
3. An equity paedagogy,
 yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial.
4. Prejudice reduction,
yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat.
Menurut Fishbein dalam Ali (2008:141) “Sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten terhadap suatu objek”.Sedangkan menurut Sherif dalam Agustin (2011:6)mendefisikan“Sikap sejenis motif sosiogonis yang diperoleh melalui proses belajar, atau kemampuan internal yang berperan sekaligus mengambil tindakan lebih-lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertind ak dan tersedia melalui beberapa alternatif.
Menurut Randi dalam Imam (2011:32) mengungkapkan bahwa “Sikap merupakan sebuah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri atau orang lain atas reaksi atau respon terhadap stimulus (objek) yang menimbulkan perasaan yang disertai dengan tindakan yang sesuai dengan objeknya”.
Menurut Sri Utami Rahayuningsih (2004: 1) sikap adalah suatu bentuk perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada suatu objek.
Menurut Thurstone dalam Bimo Walgito (2003:109) sikap adalah suatu tingkat afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang positif yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi yang negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan.


W. J. S. Poerwadarminto dalam "Kamus Umum Bahasa Indonesia" (1986: 184), mengatakan bahwa toleransi adalah sikap/sifat menenggang berupa menghargai serta memperbolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.
Anis Malik Thoha (2005: 212) berpendapat Istilah Tolerance (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun kandungannya. Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas.
Zuhairi Misrawi (2007: 161) mengemukakan pendapat bahwa Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk  memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapat nya salah dan berbeda. Secara etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa, terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis.Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan kelembutan.
Kevin Osborn (1993: 11) mengatakan bahwa toleransi adalah salah satu pondasi terpenting dalam demokrasi.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan secara garis besar bahwa sikap merupakan sebuah tingkat kecenderungan seseorang yang bersifat positif maupun negatif disertai tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap objek tertentu.
                                                                                   






















BAB II
 PEMBAHASAN

2.1  Pendidikan Toleransi Termuat dalam Pendidikan Multikulturalisme
Toleransi sering menyita perhatian masyarakat luas dan setiap kali terjadi kasus intoleransi. Hal itu membuktikan bahwa toleransi sangat penting untuk dijadikan konten pendidikan yang harus dipelajari segenap anak bangsa. Selain itu, pendidikan toleransi sangat penting bagi pertumbuhan kepribadian anak sebagai makhluk sosial, khususnya di Negara Indonesia yang berpenduduk plural. Pendidikan secara umum wajib menyisipkan pendidikan toleransi baik di sekolah, universitas, komunitas,dan lini pendidikan lainnya. Pendidikan toleransi bukan hanya tanggung jawab pendidik agama saja. Namun, pendidikan dan pendidik berbeasis agama juga diwajibkan menanamkan lebih dalam mengenai toleransi terhadap segala perbedaan yang ada dalam dunia pendidikan. Pendidikan agama diupayakan tidak memanasicivitas akademika soal isu rasis maupun intoleran, melainkan merangkul segala perbedaan yang ada dalam dunia pendidikan. Agama memiliki kedudukan yang penting dalam pendidikan nasional.
Dalam UU 20/2003, pasal 3 menjelaskan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Multikulturalisme di Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Namun pada kenyataannya kondisi demikian tidak pula diiringi dengan keadaan sosial yang merepresentasikan nilai-nilai luhur bangsa
            Indonesia. Bahkan banyak terjadinya ketidakteraturan dalam kehidupan sosial di Indonesia pada saat ini yang menyebabkan terjadinya berbagai ketegangan dan konflik. Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh adanya globalisasi banyak terjadi krisis sosial-budaya yang terjadi di masyarakat. Misalnya seperti merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial. Semakin luasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit social lainnya.Oleh karena itu, pendidikan dianggap tempat yang tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme di Indonesia. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan dapat mewujudkan keteraturan dalam kehidupan sosial-budaya di Indonesia. Beberapa pendapat para ahli mengenai pendidikan multicultural, diantaranya adalah Andersen dan Cusher (1994:320) mendefinisikanbahwa pendidikan multicultural sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, dipertegas James Banks (1993: 3) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Dimana dengan adanya kondisi tersebut sebuah komunitas mampu untuk menerima perbedaan dengan penuh rasa toleransi.
James Bank menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu:
1. Content Integration, yaitu
mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu.
2. The knowledge construction process,
 yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran.
3. An equity paedagogy,
 yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial.
4. Prejudice reduction,
yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif, maupun normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan multicultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnokultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal dengan lima pendekatan, yaitu:
1. Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme
2. Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.
3. Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan
4. Pendidikan dwi-budaya.
5. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

2.2 Pendekatan Multikultural untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Merancang pendidikan dalam tatanan masyarakat yang penuh dengan permasalahan antar kelompok seperti di Indonesia memang tidaklah mudah. Hal ini ditambah sulit lagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan multikultural diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Adapun untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan.
Beberapa pendekatan dalam pendidikan multikultural (James Bank, 2002) tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan, atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal.
2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
3. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi kedalam kebudayaan baru. Pendidikan multikultural bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan dengan logis.
4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional.
Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik. Keempat pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama serta diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan, dan agama.Masyarakat mempunyai peranan penting dalam perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab, masyarakat merupakan tempat yang penuh alternatif dalam upaya memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis multikultural.Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multikultural.
Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan di masa yang akan datang. Indonesia adalah negara yang terdiri atas beragam masyarakat yang berbeda seperti agama, suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk. Dalam kehidupan yang beragam seperti ini menjadi tantangan untuk mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu kekuatan yang dapat menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman masyarakatnya. Pentingya pendidikan multikultural ini diakarenakan agama, suku bangsa dan tradisi, secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan siswa Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada anak anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan dibantu oleh orang tua dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun pendidikan multikultural bukan hanya sebatas kepada anak-anak usia sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya lewat acara atau seminar yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam keberagaman menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman. Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti sekarang. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai unsur sosial dan budaya. Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik social budaya.
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini pendidikan multicultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan dapat mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan model masing­ masing sesuai dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya sendiri.Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada.
Namun, hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku, budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih sangat kurang.Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan, dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya. Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural. Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.

2.3 Urgensi Pendidikan Toleransi
Bentuk pendidikan yang paling tepat dalam masyarakat multikultural adalah pendidikan yang mengedepankan toleransi dan sikap saling menghormati segala perbedaan. Pendidikan toleransi ini banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”. Tujuannya, pendidikan dianggap sebagai instrumen penting dalam penanaman nilai toleran. Dengan diberlakukannya “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter setiap individu yang dididiknya dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda, terlebih melalui pendidikan agama.
Peran dan fungsi pendidikan toleransi diantaranya adalah untuk meningkatkan toleransi peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.
Salah satu tujuan pendidikan adalah menyiapkan generasi penerus bangsa yang memiliki kompetensi sehingga mampu bersaing di dunia nyata. Kompetensi yang dimaksud yaitu kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, keterampilan dan sosial. Kompetensi social merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh setiap individu karena setiap manusia tentu tidak bisa lepas dari kegiatan interaksi dengan masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat di Indonesia bukan perkara yang mudah mengingat masyarakat kita memiliki keragaman yang sangat tinggi. Hidup di tengah-tengah perbedaan akan menyulitkan bagi individu yang tidak mampu menerima dan menghargai perbedaan tersebut.
Setiap individu di masyarakat memiliki ciri khas, latar belakang, agama, suku dan bahasa yang berbeda. Banyaknya perbedaan tersebut merupakan sebuah potensi yang dapat memicu konflik dan perpecahan di masyarakat apabila tidak mampu disikapi secara bijak. Disinilah diperlukan peranan manusia Indonesia yang mampu bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat agar keutuhan dan persatuan bangsa tetap terjaga. Pembentukan karakter pada setiap individu banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Setiap individu dilahirkan dengan membawa sifat-sifat tertentu yang diturunkan secara genetis (factor internal). Selain faktor internal pembentukan karakter juga dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa pengaruh lingkungan dan pembiasaan. Faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk karakter setiap individu.
Apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang baik dan belajar tentang sesuatu yang baik maka akan baik pula individu tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang tidak baik dan belajar tentang sesuatu yang kurang baik maka akan kurang baik pula individu tersebut. Besarnya pengaruh lingkungan (factor eksternal) dalam membentuk karakter pribadi seorang individu ini memicu setiap orang untuk belajar menjadi individu yang lebih baik.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menempatkan diri pada lingkungan yang mendukung dan membuat seseorang menjadi individu yang mampu bersikap dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Lingkungan yang baik tersebut diharapkan dapat merubah karakter suatu individu menjadi lebih baik dengan cara menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga diharapkan kebiasaan tersebut akan terus berlanjut dan dapat diterapkan dalam kehidupan.Lingkungan sekolah merupakan suatu lingkungan dimana seseorang belajar untuk menjadi individu yang menguasi ilmu pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup dan kemampuan hidup bermasyarakat. Seseorang yang telah mendapatkan pendidikan diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di dalam kehidupan sekaligus mampu hidup berdampingan di masyarakat. Jadi, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian seorang individu yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan saja namun juga mampu hidup bermasyarakat secara harmonis. Peranan pendidikan dalam membentuk karakter individu ini seharusnya disadari dengan baik oleh para pemegang kepentingan pendidikan di negeri ini.
Pendidikan seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada penguasaan aspek kognitif saja namun juga harus menitikberatkan pada aspek sikap dan perilaku iswa (afektif). Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah membagi tiga ranah pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Namun kenyataannya bahwa guru sebagai ujung tombak di lapangan masih terfokus hanya pada aspek kognitif saja. Kenyataan tersebut tentu tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah.



2.4 Peranan Pendidik dalam Penanaman Toleransi
Guru harus menjadi agen perubahan dalam membentuk anak didik yang memiliki rasa toleransi terhadap sesama. Tugas tersebut tentu tidak mudah namun ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam memulai dan berinovasi dengan pendidikan berbasis karakter tersebut, antara lain:
1. Mengubah orientasi pembelajaran dengan memberikan perhatian lebih pada ranah afektif. Penerapan indikator afektif tersebut juga harus dibarengi dengan sosialisasi ke siswa. Mungkin sebagian besar siswa masih menganggap pengetahuan dalam menyelesaikan soal-soal ulangan dan tugas adalah yang paling penting dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa harus diberikan informasi bahwa sikap dan perilaku mereka juga ikut dinilai. Hal ini diharapkan mampu memotivasi siswa untuk bersikap lebih baik dengan guru maupun dengan sesama temannya. Mekanisme penilaian yang logis untuk mengukur ketercapaian indicator afektif tersebut adalah dengan metode observasi oleh guru dan metode angket oleh siswa. Guru membuat instrumen pengamatan sikap yang di dalamnya memuat poin-poin penilaian dengan skala tertentu beserta dengan rubrik penilaiannya.
Poin-poin penilaian tersebut misalnya dapat berupa pernyataan sebagai berikut: Siswa mampu menghargai pendapat orang lain, Siswa tidak memotong pembicaraan orang lain selama proses diskusi, Siswa tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain, Siswa mampu menerima dengan lapang dada apabila dirinya salah, Siswa mampu mengutarakan pendapat dengan sopan, Siswa tidak menyinggung perasaan orang baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan lain sebagainya. Teknis penilaiannya yaitu guru mengamati sikap siswa selama proses diskusi satu persatu dan memberikan penilaian pada instrumen yang telah disiapkan. Selain metode observasi sikap oleh guru, mekanisme penilaian yang kedua yaitu dengan memberikan angket penilaian kepada siswa. Angket yang diberikan disini terdiri dari dua macam yaitu angket penilaian diri dan angket penilaian teman. Pertama, angket penilaian diri merupakan angket yang berfungsi sebagai refleksi diri bagi siswa. Dengan angket tersebut siswa akan menilai dirinya sendiri apakah dia sudah memenuhi seluruh poin-poin penilaian yang diajukan. Sedangkan angket yang kedua yaitu angket penilaian teman. Angket tersebut berfungsi sebagai penilaian terhadap siswa lain.
2. Guru Menjadi Contoh Model dalam Berperilaku di Kelas. Guru merupakan sosok yangmenjadi panutan baik dari segi pengetahuan maupun kepribadian. Guru adalah model yang akan ditiru oleh siswa dalam bersikap. Kita harus ingat bahwa siswa belajar dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, mereka alami, dan mereka rasakan. Kita juga harus ingat dengan kata-kata bijak berikut: “Jika anak dibesarkan dalam toleransi, maka ia akan belajar bersabar. Begitupun sebaliknya, jika anak dibesarkan dalam kecaman maka ia akan belajar menyalahkan”. Kata-kata tersebut harus menjadi motivasi bagi para guru untukmmenunjukkan contoh yang baik kepada siswa dalam menghargai toleransi terhadap sesama. Guru harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah laku. Tutur kata dan tingkah laku yang tidak tepat pada tempatnya akan berakibat buruk pada siswa. Mereka bisa saja meniru tutur kata dan tingkah laku kita tanpa memperhitungkan benar salahnya.


Sebagai contoh sederhana, apabila kita mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa dan jawaban yang mereka berikan tidak sesuai dengan yang kita harapkan maka sebagian besar guru akan berkata “Salah!!! Tidak tepat!!!”. Hal ini memang sering tidak kita sadari tetapi dengan kita sering menyalahkan pendapat atau jawaban siswa maka secara tidak langsung siswa juga telah belajar untuk menyalahkan pendapat orang lain. Guru seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata bermakna negatif yang dapat melemahkan kreatifitas dan mental siswa.Guru sebagai contoh model bagi siswa harus menata ulang tutur kata dan tingkah lakunya dihadapan siswa agar dapat memberikan penguatan positif terhadap pembentukan kepribadian siswa.
Apabila guru mampu bertoleransi dengan baik maka siswa juga akan belajar melakukan hal serupa.Membiasakan siswa menghargai perbedaan. “Sesuatu yang baik lahir dari kebiasaan yang baik pula”. Kalimat tersebut harusnya menjadi sebuah pedoman bagi guru dalam membentuk sikap toleransi siswa. Sikap toleransi terhadap sesama tidak muncul begitu saja melainkan dibentuk melalui sebuah proses panjang. Guru harus menempatkan siswa pada kondisi yang menghadirkan banyak perbedaan-perbedaan. Pada kondisi demikian guru dapat melatih siswa agar bisa menghargai setiap perbedaan yang ada. Sebagai contoh sederhana guru memberikan sebuah permasalahan untuk diselesaikan secara berkelompok. Guru kemudian mengadu pendapat antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Dengan perbedaan pendapat tersebut siswa dilatih untuk tetap saling menghormati dan menghargai dengan sesama temannya.Cara lain yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya yaitu guru sebaiknya tidak memberikan bentuk soal pilihan ganda kepada siswa. Soal bentuk pilihan ganda terlalu sempit untuk pola pikir siswa. Beberapa prnyataan diatas dapat dijadikan acuan bagi guru maupun pendidik yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan untuk membentuk sikap toleransi siswa. Satu hal yang paling penting adalah sebelum generasi ini berubah sikap untuk saling menghargai segala perbedaan yang ada, pendidik dan seluruh civitas akademika dalam lini pendidikan diharapkan melakukan refleksi diri terlebih dahulu apakah sudah mampu bertoleransi ataukah belum. Dengan demikian maka penularan sikap toleransi kepada generasi Indonesia, tidak mustahil dilakukan.

2.5 Tinjauan Tentang Sikap
1.Pengertian Sikap
Sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sikap mungkin dihasilkan dari perilaku tetapi sikap tidak sama dengan perilaku. Sikap merupakan bagian terpenting dalam berinteraksi dengan orang lain. Sikap dapat bersifat positif dan negatif. Sikap positif memunculkan kecendrungan untuk mendekati, menerima, bahkan untuk mengharapkan kehadiran objek tertentu. Sedangkan sikap negative dapat memunculkan kecendrungan untuk menjauhi, menghindari keberadaan suatu objek yang tidak disukai.

Menurut Fishbein dalam Ali (2008:141) “Sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten terhadap suatu objek”.Sedangkan menurut Sherif dalam Agustin (2011:6)mendefisikan“Sikap sejenis motif sosiogonis yang diperoleh melalui proses belajar, atau kemampuan internal yang berperan sekaligus mengambil tindakan lebih-lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertind ak dan tersedia melalui beberapa alternatif.
Menurut Randi dalam Imam (2011:32) mengungkapkan bahwa “Sikap merupakan sebuah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri atau orang lain atas reaksi atau respon terhadap stimulus (objek) yang menimbulkan perasaan yang disertai dengan tindakan yang sesuai dengan objeknya”.
Menurut Sri Utami Rahayuningsih (2004: 1) sikap adalah suatu bentuk perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada suatu objek.
Menurut Thurstone dalam Bimo Walgito (2003:109) sikap adalah suatu tingkat afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang positif yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi yang negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan secara garis besar bahwa sikap merupakan sebuah tingkat kecenderungan seseorang yang bersifat positif maupun negatif disertai tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap objek tertentu.
                                                                                   

2.6 Tinjauan Tentang Toleransi
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Toleransi yang berasal dari kata
“toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara bahasa atau etimologi toleransi berasal dari bahasa Arab”tasamuh”yang artinya ampun, maaf dan lapang dada. Secara terminologi, menurut Umar Hasyim, toleransi yaitu pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Namun menurut W. J. S. Poerwadarminto dalam "Kamus Umum Bahasa Indonesia" (1986: 184), toleransi adalah sikap/sifat menenggang berupa menghargai serta memperbolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.
Menurut Anis Malik Thoha (2005: 212) Istilah Tolerance (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun kandungannya. Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas.
Menurut Zuhairi Misrawi (2007: 161) Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk  memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapat nya salah dan berbeda. Secara etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa, terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis.
Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan kelembutan. Kevin Osborn (1993: 11) mengatakan bahwa toleransi adalah salah satu pondasi terpenting dalam demokrasi. Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain. Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa sikap toleransi adalah suatu sikap atau tingkah laku dari seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain dan memberikan kebenaran atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia.
Pendidikan Kewarganegaraan secara umum bertujan untuk membina manusia Indonesia agar mampu membangun demi mewujudkan masyarakat pancasila yang hendaknya dibangun sering disebut sebagai masyrakat sosialistis  agamamis (religius). Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan nasional menurut pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas yang berbunyi: “Tujuan Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab bermasyarakat”.Fungsi Pendidikan Nasional Undang-undang No 20 tahun 2003 yang terdapat dalam pasal 3 yaitu: “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta reradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” Pada Pasal 12 Undang-undang No 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik seagama.           
Pendidikan kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) agar menjadi warga Negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara, dan secara umum bertujuan membina Indonesia menjadi manusia yang taat pada Tuhan Yang Maha Esa. Penyelenggaraan pendidikan nasional harus mampu meningkatkan, memperluas, dan menetapkan suatu Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dan dalam hal ini pembinaan sikap toleransi antar siswa sangat berperan dan terbukti dan sebagaimana kita ketahui bahwa toleransi merupakan syarat mutlak untuk mengamalkan pancasila dengan sebaik-baiknya. Dan dengan demikian bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang memiliki keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian pula dalam memeluk agama menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pengembangan kecerdasan afektif atau kecerdasan sikap terutama di sekolah masih seringkali dikesampingkan. Lembaga pendidikan persekolahan menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi semua golongan dan lapisan masyarakat, dan itu mencerminkan adanya masyarakat yang heterogen. Hal ini berarti bahwa lembaga persekolahan berfungsi sebagai suatu sistem pembimbing kecerdasan bermasyarakat. Peserta didik dibimbing untuk pandai bergaul baik dalam dimensi horizontal antar sesama peserta didik maupun dalam dimensi vertikal dengan para pendidik termasuk kepala sekolah dan para karyawan. Dalam pergaulan, selalu ada aturan normatif yang dipedomani. Karena itu pula, peserta didik mendapat bimbingan untuk hidup taat terhadap peraturan yang ada. (Suhartono, 2009, hlm 47-48)
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran bagi peranannya di masa yang akan datang.
Sesuai dengan tujuan pendidikan untuk menyiapkan peserta didik ke arah yang lebih baik, salah satu pelajaran yang juga penting dalam dunia pendidikan dipersekolahan yakni Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang dijabarkan dari materi cabang-cabang ilmu sosial. Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik agar peka terhadap permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ilmu Pengetahuan Sosial juga betujuan agar peserta didik memiliki keterampilan mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang terjadi pada dirinya sendiri atau yang terjadi pada masyarakat umum.
Dari hasil wawancara dengan guru, didapatkan informasi bahwa kelas VII-C memang memiliki tingkat sikap toleransi yang rendah dibandingkan kelas yang lainnya. Dan dari hasil wawancara dengan siswapun diketahui bahwa siswa merasakan hal yang sama, bahwa siswa dikelas VII-C masih memiliki tingkat toleran yang rendah.
Pengembangan kecerdasan afektif atau kecerdasan sikap terutama di sekolah masih seringkali dikesampingkan. Lembaga pendidikan persekolahan menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi semua golongan dan lapisan masyarakat, dan itu mencerminkan adanya masyarakat yang heterogen. Hal ini berarti bahwa lembaga persekolahan berfungsi sebagai suatu sistem pembimbing kecerdasan bermasyarakat. Peserta didik dibimbing untuk pandai bergaul baik dalam dimensi horizontal antar sesama peserta didik maupun dalam dimensi vertikal dengan para pendidik termasuk kepala sekolah dan para karyawan. Dalam pergaulan, selalu ada aturan normatif yang dipedomani. Karena itu pula, peserta didik mendapat bimbingan untuk hidup taat terhadap peraturan yang ada. (Suhartono, 2009, hlm 47-48).
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran bagi peranannya di masa yang akan datang.
Sesuai dengan tujuan pendidikan untuk menyiapkan peserta didik ke arah yang lebih baik, salah satu pelajaran yang juga penting dalam dunia pendidikan dipersekolahan yakni Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang dijabarkan dari materi cabang-cabang ilmu sosial. Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik agar peka terhadap permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ilmu Pengetahuan Sosial juga betujuan agar peserta didik memiliki keterampilan mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang terjadi pada dirinya sendiri atau yang terjadi pada masyarakat umum. Menurut Hasan  (1995, hlm. 98) pada umumnya tujuan pembelajaran IPS dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, pengembangan kemampuan intelektual siswa dalam memahami disiplin ilmu sosial, kemampuan berpikir dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, serta kemampuan prosesual dalam mencari informasi, mengolah informasi dan mengkomunikasikan hasil temuan yang terkait disiplin ilmu sosial. Kedua, pengembangan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat, warga negara serta warga dunia dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dan benar. Ketiga, pengembangan Sikap toleransi ini sangat diperlukan dalam pengembangan diri siswa karena didukung oleh beberapa alasan. Pertama, fakta dilapangan yang peneliti uraikan bahwa sikap atau karakter toleransi siswa masih dikatergorikan rendah. Kedua, peneliti berpendapat bahwa sikap ini perlu dimiliki terutama mempersiapkan diri siswa dalam memasuki era global dimana mereka akan dihadapkan dengan masyarakat yang multikultural, majemuk, dan perubahan-perubahan lain yang akan terjadi. Ketiga, sikap toleransi siswa perlu dan dapat dikembangkan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sehari-hari bahkan di masa yang akan datang. kepribadian siswa berkenaan dengan pengembangan sikap yang positif, nilai, norma, dan moral yang menjadi panutan siswa.
Meskipun semua mata pelajaran mempunyai tanggungjawab yang sama untuk membimbing peserta didik, tetapi mata pelajaran IPS memiliki porsi serta peranan yang cukup besar dalam mendidik siswa untuk menjadi anggota masyarakat yang kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan mengembangkan sikap toleransi pada diri siswa. Toleransi dimaknai sebagai apresiasi terhadap kebinekaan atau keberagaman. Raka (2011: 232) memberikan indikator siswa dari karakter toleransi. Pertama, bisa menghargai pendapat yang berbeda. Kedua, bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya, kepercayaan dan suku. Ketiga, tidak menghakimi orang yang berbeda pendapat, keyakinan atau latar belakang budaya. Keempat, tidak mendominasi atau ingin menang sendiri. Sedangkan indikator karakter siswa di SMP adalah: pertama tidak mengganggu teman yang berbeda pendapat, kedua menghormati teman yang berbeda adat istiadatnya, ketiga bersahabat dengan teman sekelas lain.







2.7 PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan dalam pengembangan sikap toleran di kelas VII-C SMP Negeri 44 Bandung, maka diperlukan cara serta langkah yang harus peneliti tempuh. Maka dalam hal ini peneliti menggunakan pembelajaran Discovery Learning dalam pembelajaran IPS untuk mengembangkan sikap toleransi siswa. Dengan menggunakan pembelajaran Discovery Learning maka peserta didik dituntut untuk menganalisis masalah yang ada disekitarnya terkait dengan mutlikultural yang ada di lingkungannya. Dengan begitu peserta didik diajak untuk menggali dan memecahkan permasalahan yang ada sehingga pembelajaran lebih meaningful dan bermakna bagi peserta didik.
Anitah (dalam Arinawati, 2014, hlm. 2) menyatakan bahwa, discovery learning merupakan suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pemecahan masalah untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Discovery learning yang menuntut siswa untuk melakukan sebuah penemuan terhadap suatu konsep, sehingga jika mereka menemukan dan mengalaminya sendiri akan jauh lebih lama
mengingat dan lebih baik pemahamannya, karena pemahamannya yang lebih inilah membuat siswa memecahkan masalah dengan lebih baik. Salah satu manfaat yang dapat diperoleh dari pembelajaran Discovery Learning adalah munculnya sikap keilmiahan siswa, misalnya sikap objektif, rasa ingin tahu untuk menyelesaikan masalah dengan baik, dan berpikir kritis. Seperti yang dikemukakan oleh Maxim (2010, hlm. 41) Good social studies teacher involved children in doing something-discovering, processing, and applying information; talking, listening, writing, reading; manipulating, building, doing; investigating, exploring. Probing; collaborating, cooperating, team building. Effective social studies teachers degign, make, and use a variety of strategies and materials that help children learn about their social world in anggaging and instructive way. Artinya guru IPS yang baik adalah guru yang melibatkan peserta didik untuk melakukan sesuatu atau menemukan suatu permasalahan, mengolah, dan memaknai informasi; berbicara, mendengarkan, menulis, membangun, melakukan; penelusuran, menyelidiki; bekerjasama. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dibuat dan digunakan agar peserta didik belajar mengenai dunia nyata yang kemudian akan menarik dan bermakna bagi siswa.
Sementara Hanafiah dan Suhana (2012, hlm. 79) mengemukakan keunggulan dari pembelajaran penemuan yang meliputi: pertama membantu peserta didik untuk mengembangkan kesiapan serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif, kedua peserta didik memperoleh pengetahuan secara individual sehingga dapat dimengerti dan mengendap dalam pikirannya, keyiga dapat membangkitkan motivasi dan gairah belajar peserta didik untuk belajar lebih giat lagi, keempat memberikan peluang untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing, kelima memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses menemukan sendiri karena pembelajaran berpusat pada peserta didik dengan oeran guru yang terbatas.
Berdasarkan pendapat mengenai keunggukan-keunggulan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa model discovery learning dapat menumbuhkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran IPS serta dapat menumbuhkan motivasi kepada siswa untuk melakukan proses penemuan. Model penemuan ini juga bisa meningkatkan kemandirian siswa dalam belajar karena disini guru hanya sebagai pembimbing siswa dalam melakukan penemuan.Maka berangkat dari keadaan lapangan diatas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat tema ini sebagai salah satu tema dalam penelitian. Oleh karena itu peneliti terdorong untuk mengangkat penelitian dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “Pengembangan Sikap Toleran Terhadap Perbedaan Pendapat Siswa Melaui Discovery Learning dalam Pembelajaran IPS. ”(Penelitian Tindakan Kelas Terhadap Siswa Kelas VII-C SMP Negeri 44 Bandung)”. Dengan rumusan masalah dalam penelitian yakni: Pertama, bagaimana guru mendesain perencanaan pembelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning untuk mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaan pendapat siswa di kelas VII-C SMP Negeri 44 Bandung?. Kedua, bagaimana guru mengimplementasikan pembelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning untuk mengembangkan sikap toleran toleran terhadap perbedaan pendapat siswa di kelas VII-C SMP Negeri 44 Bandung?. Ketiga, bagaimana hasil pembelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning untuk mengembangkan sikap toleran.
2.8 METODE                                                                          
Penelitian dilakukan di SMP Negari 44 Bandung kelas VII-C. Hal ini didasarkan atas hasil observasi awal peneliti, dan juga hasil diskusi dengan guru mitra. Permasalahan yang terdapat pada kelas VII-C ini adalah sikap toleran di dalam diri siswa yang masih dikategorikan rendah. Adapun jumlah siswa dalam kelas tersebut adalah 36 orang yang terdiri dari 17 siswi perempuan dan 19 siswa laki-laki.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK) mengacu pada model Kemmis dan Taggart. Secara mendetail Kemmis dan Taggart (dalam Wiriaatmadja, 2012, hlm. 66) menjelaskan tahap-tahap penelitian tindakan yang dilakukannya. Pada tahap awal adalah perencanaan, kemudian pelaksanaan tindakan, pengamatan (observasi), dan yang terakhir adalah refleksi.


2.9 HASIL PENELITIAN
  • Peningkatan Hasil  Siklus PTK diskusi didalam kelompok Siswa
Dari diskusi kelompok peneliti bisa mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman konsep siswa dari beberapa indikator yang sudah disepakati. Adapun kriteria dalam penilaian antara lain sebagai berikut : (a) berpendapat dalam kelompok; (b) kerjasama dalam kelompok; (c) menghargai pendapat kelompok. Berikut rincian hasil dari pengamatan yang telah dilaksanakan oleh peneliti.
  • Hasil Persentase Penilain Diskusi Berpendapat dalam Kelompok
Pada siklus I berpendapat dalam kelompok siswa yang mendapat penilaian baik (B) sebanyak 8,3%. Adapun yang mendapat penilaian cukup (C) yaitu sebesar 50% dan siswa yang mendapat penilaian kurang (K) sebanyak 0%. Hal tersebut menujukkan bahwa berpendapat dalam kelompok I ini telah mendapat penilaian yang cukup baik.
Selanjutnya, pada siklus II sudah mengalami peningkatan yang sangat baik. Dapat dilihat pada diagram di atas 50% siswa di kelas mendapatkan penilaian baik (B) yaitu sebesar 66.7%.
Hal ini sudah membuktikan bahwa siswa sudah mulai terbiasa berpendapat dalam kelompok. Siswa yang mendapatkan penilaian cukup (C) sebanyak 33,3% dan siswa yang mendapatkan penilaian kurang (K) sebanyak 0%. Pada tahap selanjutnya yaitu pada siklus III mengalami presentase yang paling tinggi dibandingkan siklus ke I dan ke II. Adapun siswa yang mendapat penilaian baik (B) sebanyak 100% hal ini membuktikan bahwa mayoritas siswa sudah mampu berpendapat dalam kelompok. Sehingga semua siswa sudah dikatakan berhasil dan memenuhi tujuan penelitian dalam meningkatkan berpendapat dalam kelompok.









BAB III
KESIMPULAN
Organisasi sekolah beserta atmosfir pendidikan diharapkan mampu mewujudkan jalan menuju kehidupan secara personal dan sosial. Sekolah sebagai cerminan dapat mempraktikkan sesuatu yang telah diajarkanya. Dengan demikian, lingkungan sekolah tersebut dapat dijadikan percontohan bagi peserta didik tentang toleransi dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Dengan penanaman nilai pendidikan multikultral dan toleransi di dalam sekolah, peserta didik dapat mempelajari adanya kurikulum-kurikulum umum di dalam kelas-kelas heterogen.Hal ini diperlukan guna mendorong adanya persamaan ideal, membangun perasaan persamaan, dan memastikan adanya input dari peserta didik yang memiliki latar belakang berbeda. Melalui sistem pendidikan multikultural dan toleransi akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para siswa akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agamaagama lain. Pendidikan multikultural memiliki nilai strategis dalam pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang difokuskan pada pengembangan perspektif multikultural dalam kehidupan adalah tidak mungkin untuk menciptakan keberadaan aneka ragam budaya di masa depan dalam masyarakat Indonesia.
Pentingya pendidikan multikultural ini diakarenakan, Pertama, Agama, suku bangsa dan tradisi, secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan siswa Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama selalu dikaitkan denganetnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.Masing masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip siswa dalam menghargai agama.Kedua,
Kepercayaan merupakan unsur yang penting dalam kehidupan bersama. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/ plural.Ketiga, Toleransi, merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya. Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan multikultural.
Pendekatan dalam pendidikan multicultural dan toleran yang diterapkan oleh guru dalam pembelajaran yang diberikan kepada siswa yang berbeda secara kultural mengarahkan atau mendorong siswa memiliki perasaan positif, mengembangkan konsep diri, mengembangkan toleransi dan mau menerima orang lain. Guru berupaya menciptakan arena belajar dalam satu kelompok budaya.Pendidikan multicultural dilakukan sebagai upaya mendorong persamaan struktur sosial dan toleransi kultural dengan pemerataan kekuasaan antar kelompok. Pendidikan multikultural sekaligus sebagai upaya rekontruksi sosial agar terjadi persamaan struktur sosial dan toleransi kultural dengan tujuan menyiapkan agar setiap siswa aktif mengusahakan persamaan struktur sosial. Pendidikan multikultural menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak hanya di lingkup sekolah tapi juga dirumah dan lingkungan social dengan menanamkan dalam benak pikiran siswa dan anak-anak kita, bahwa perbedaan merupakan sunnatullah yang harus dijalani, semua sudah ada yang mengatur, maka, tidak selayaknya kita lari dari tanggungjawab.
 Mari memupuk dan kembangkan pendidikan multikultural dan toleransi dalam wadah pembelajaran. Perbedaan agama, suku, adat, istiadat yang berbeda telah berhasil dirawat bangsa Indonesia selama 71 tahun ini. Bukan perkara mudah bertahan begitu gagah di antara masalah rasisme yang begitu mendebatkan. Mengapa ini dibangkitkan kembali untuk mencederai negeri ini? Musuh sejatinya hanya satu yaitu “keakuan”. Lantas mengapa harus banyak yang terluka dan menjadi korban perbedaan ini? Pendidikan toleransi tidak boleh kehilangan ruhnya dalam praktik pembelajarannya. Pendidikan toleransi bukan hanya soal teori, namun lebih mendalam secara praktik untuk menghargai setiap perbedaan yang ada dalam dunia pendidikan.






























DAFTAR PUSTAKA

Jurnal PENGEMBANGAN SIKAP TOLERAN TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT SISWA MELALUI DISCOVERY LEARNING DALAM

Jurnal PEMBELAJARAN IPS (Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas VII-C SMP Negeri 44 Bandung)

Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA Peranan Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Membina Sikap
Toleransi Antar Siswa
Agung Suharyanto*

Suciartini Ayu N.N.(2017). JURNAL PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Emiarti Emi.(2016). JURNAL PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN PADA MATERI KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN DAN SIKAP TOLERANSI SISWA.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandar lampung

Arikunto, Suharsimi. 1993.Metodelogi Penelitian. Bandung: Rineka Cipta.
Ansori Mohammad, Ali Mohammad. 2008 Psikologi Remaja. Bumi Aksara
Budimansyah, D. 2008. Pembelajaran pendidikan kesadaran hokum. Bandung: PT.Genesindo
Agustin,Mubiar. 2011.Permasalahan Belajar dan Inovasi Pembelajaran.Bandung: PT Refika Aditama.
Anis Malik Thoha,Tren Pluralisme Agama(Jakarta : Perspektif, 2005), 212.Dahlan. 1984.Model-Model Mengajar.Bandung:CV Diponegoro
Djamarah, Saiful Bahri dan Azwan. 2006.Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rineka Cipta.Jauhari, Imam B. 2011.Teori Sosial Proses Islamisasi Dalam Sistem IlmuPengetahuan.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Komalasari, Kokom. 2010.Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Refika Aditama: Bandung.
Martinis Yamin. 2008. Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Gaung Persada Press.
Pratiwi, Rina. 2013.Pengaruh Pemahaman Materi Hak Asasi Manusia Terhadap Sikap Kemanusiaan Siswa Kelas VII Di Smp Negeri 2 Hulu Sungka Kabupaten Lampung Utara Tahun Pelajaran 2012/2013.Bandar Lampung : Universitas Lampung
Sardiman, AM. 2004.Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Uno, Hamzah. B. 2008. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.Wahab, A. A. 2010.
Metode dan Model-Model Mengajar. Bandung: Alfabeta.Walgito, Bimo. 2003.
Teori-Teori Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset
Zuhairi Misrawi,Alquran Kitab Toleransi (Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), 161
Winarno, S. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar dan Dasar Metodologi. Bandung: Tarsito.
Sumber Buku
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarata: Departemen Pendidikan Nasional Hasan, Hamid. (1995). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Hanafiah, N. dan Suhana, C . (2012). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Riefka Aditama
Hassan, H. (1996). Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial. Bandung: Jurusan Sejarah IKIP.
Maxim, George. (2010). Dinamyc Sosial Studies For Constructivist Classrooms. West Chester University.
Naim, Ngainun (2011). Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar