KARYA
ILMIAH
URGENSI
PENDIDIKAN TOLERANSI DALAM WAJAH
PEMBELAJARAN
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS
PENDIDIKAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ke-PGRI-an
Dosen Pengampu : Dr. H. Sunardjo, SH., M.Hum
Disusun
Oleh :
Nama : Halimatus Sakdiyah
NPM : 1622211024
Prodi : Ekonomi II A
STKIP
PGRI BANGKALAN
TAHUN
AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas karya ilmiah ini yang berjudul ”URGENSI PENDIDIKAN TOLERANSI DALAM WAJAH PEMBELAJARAN
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN”
Karya Ilmiah ini dibuat guna memenuhi
syarat untuk Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatNyalah akhirnya karya ilmiah
ini telah selesai disusun untuk memenuhi tugas materi pendidikan ke-PGRI-an.
Tugas ini
disusun agar mahasiswa atau para pembacanya dapat mengetahui betapa pentingya
menumbuhkan rasa toleransi dalam suatu pendidikan agar mencetak pendidik yang
berkualitas. Dalam proses pemyusunan karya ilmiah ini, penyusun berupaya
mengumpulkan informasi dari berbagai referensi agar dapat merumuskan
pokok-pokok bahasan.
Semoga karya ilmiah ini
dapat membantu memperluas wawasan mahasiswa ataupun para pembacanya tentang
pendidikan toleransi dalam pembelajaran. Tentu saja karya ilmiah ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami selaku penyusun makalah ini mohon
maaf atas segala kekurangan yang ada, kami selalu menanti saran dan kritik dari
dosen pembimbing maupun pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik lagi
kedepannya.
Bangkalan,
07-Juli-2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………… i
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………………………………………………...
1
B. Rumusan masalah……………………………………………………... 3
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………….... 3
D. Kajian teori…………………………………………………………….. 4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Toleransi Termuat dalam Pendidikan Multikulturalisme…….. 5
2.2 Pendekatan Multikultural untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan……. 7
2.3 Urgensi
Pendidikan Toleransi………………………………..…………… 9
2.4 Peranan
Pendidik dalam Penanaman Toleransi…………………………… 11
2.5 Tinjauan Tentang Sikap…………………………………………………… 12
2.6 Tinjauan Tentang Toleransi………………………………………………. 13
2.7
Penelitian………………………………………………………………….. 17
2.8 Metode……………………………………………………………………..
19
2.9
Hasil penelitian……………………………………………………………. 19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan………………………………………………………………….. 20
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………….. 22
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Masalah
Pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia karena pendidikan akan membantu
manusia dalama mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan dilakukan melalui
proses pembelajaran dikenal dan telah diakui masyarakat.Perkembangan dunia pendidikan
dari tahun ke tahun mengalami perubahan seiring dengan tantangan dalam
menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing di era
globalisasi. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa indonesia adalah
masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain melalui berbagai
pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan
buku dan alat pelajaran serta perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Namun
demikian mutu pendidikan yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan.
Perbaikan yang telah dilakukan pemerintah tidak akan ada artinya jika tanpa dukungan
dari guru, orang tua, siswa, dan ma syarakat. Berbicara tentang mutu pendidikan
tidak akan lepas dengan proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar,
guru harus mampu menjalankan tugas dan peranannya.
Belajar mengajar merupakan sebuah proses dengan menggunakan berbagai
macam metode pembelajaran sehingga siswa memperoleh pengetahuan, pemahaman,dan carab
ertingkah laku yg sesuai dengan kebutuhan dan tjuan pendidikan. Pada suatu proses
pembelajaran diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Proses pembelajaran
yang dapat mencapai tujuan adalah proses belajar mengajar yang mengarah pada
peningkatan efisiensi dan efektifitas layanan dan pengembangan. Konsekuensi
dari suatu inovasi pendidikan, serta proses pembelajaran yang melatih siswa
baik secara individu maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan sendiri
berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Belajar
mengajar merupakan suatu proses berkesinambungan dan tidak terbatas pada
penyampaian materi pelajaran di kelas saja, akan tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana agar materi yang diterima siswa di kelas dapat diterapkan dan
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan menu njukkan bahwa pelaksanaan
proses pembelajaran di sekolah sebagian besar masih dilakukan secara
konvensional dengan metode ceramah dan mencatat.
Metode
pada dasarnya adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan pelajaran kepada
siswa dengan tujuan untuk mempermudah penyampaian materi dan menjadikan siswa
lebih mudah menyerap semua ilmu yang telah diterimanya. Penggunaan metode dapat
membangkitkan motivasi dan minat siswa, membantu meningkatkan pemahanian,
menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data dan
memadatkan informasi.
Penggunaan
metode bukan hanya membuat proses pembelajaran lebih efisien, tetapi juga
membantu siswa menyerap ma teri belajar lebih mendalam dan utuh. Bila hanya
dengan mendengarkan informasi verbal dari guru saja, siswa mungkin kurang
memahami pelajaran secara baik. Tetapi jika hal itu diperkaya dengan kegiatan
melihat, mendengar, menyentuh dan mengalami sendiri, maka pemahaman siswa pasti
akan lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil belajar atau
prestasi belajar. Selain itu, perkembangan social emosi siswa juga mampu
terstimulus dengan baik.
Apabila
perkembangan sosial emosi siswa distimulus dengan baik, maka rasa sosial emosi
siswa akan berkembang dengan positif dan optimal, sehingga nantinya siswa mampu
terjun ke masyarakat dengan baik. siswa mampu bersikap toleransi terhadap orang
lain, mampu mengendalikan emosi negative dan tidak temperamental, mau
menghargai pendapat orang lain, serta bersikap bijak dalam menyelesaikan suatu
masalah, sehingga siswa tumbuh menjadi generasi yang baik dan warga masyarakat
yang berkualitas, karena cerminan bangsa yang baik adalah bangsa yang mempunyai
warga yang bersikap baik, sopan, toleran serta perduli dengan sesama.
Kondisi
generasi dewasa ini sangatlah memprihatinkan ditengah pesatnya kamajuan
informasi dan teknologi, yaitu siswa tumbuh dalam lingkungan yang kurang
kondusif dalam membentuk jiwa yang social is karena pengaruh kehidupan
lingkungan yang cenderung untuk hidup masing-masing tanpa memperdulikan orang
lain atau lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya kondisi tersebut berdampak pada
siswa, yaitu anak tumbuh dan berkembang dengan kurang memiliki jiwa sosial
terutama sikap toleransi terhadap sesama serta anak menjadi kurang peka
terhadap situasi dan masalah yang terjadi pada lingkungan disekitarnya mereka
lebih cenderung perduli dengan kebutuhan dirinya sendiri dan kurang menghargai orang
lain. Seperti halnya permasalahan yang dihadapi siswa kelas VIIA SMPN 1 Tegineneng
yaitu: kemampuan siswa dalam bersikap toleransi sangat rendah. Bersikap
toleransi adalah bersikap menghargai dan memperdulikan orang lain, siswa-siswi kelas
VIIA SMPN 1 Tegineneng kurang memiliki sikap toleransi dan rasa empati terhadap
orang lain mereka cenderung egois dan mau menang sendiri kurang memiliki rasa
hormat dan menghargai orang lain.
Dari
pengamatan peneliti siswa kelas VIIA SMPN 1 Tegineneng yang berjumlah 24 siswa,
ada 15 siswa yang mempunyai kemampuan bersikap toleransi yang rendah dan hanya
ada 9 siswa yang mempunyai kemampuan bersikap toleransi cukup baik jadi hanya
sekitar 37,5% dari siswa dalam satu kelas yang mempunyai kemampuan bersikap
toleransi cukup baik. Bila masalah ini tidak segera mandapat solusi maka
sangatlah sulit bagi siswa untuk dapat menghargai orang lain dan nantinya siswa
kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan serta kurang memiliki rasa sosial
dan empati terhadap orang lain. Hal ini akan mengakibatkan siswa menjadi
bersikap egois serta mau menang sendiri tanpa menghargai dan menghormati orang lain,
anak juga mempunyai sifat yang tidak mau perduli dengan lingkungan.
Metode
bermain peran adalah salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan pembelajaran
siswa, karena dengan bermain dalam berbagai macam peran siswa akan mampu mengembangkan
diri untuk bersikap toleransi/menghargai terhadap orang lain, dengan bermain
peran siswa juga akan belajar untuk dapat mendalami berbagai macam karakter dan
memahami kebaikan dan keburukan suatu karakter dari sebuah peran. Bermain peran
dilakukan dengan
memberikan pengarahan dan bimbingan serta
membangkitkan perasaan positif pada siswa akan menstimulus siswa untuk mampu
menarik kesimpulan dari arti suatu peran didalam bermain peran, siswa bisa
meniru sikap/perilaku yang baik dari tokoh serta bisa merasakan akibat dari
perilaku tokoh peran yang tidak baik dan anakpun bisa memahami perasaan orang
lain, sehingga akan tumbuh sikap bertoleransi pada diri siswa.
Hal
ini sependapat dengan Roestiyah (2001: 90) bahwa:“Dengan metode bermain peran
memiliki, perasaan orang lain; tepo seliro dan toleransi, karena dalam bermain
peran siswa dapat menghayati peranan apa yang dimainkan, mampu menempatkan diri
dalam situasi orang lain yang dikehendaki dalam bermain peran. Dalam bermain
peran siswa dapat mempelajari watak orang lain, cara bergaul dengan orang lain,
cara mendekati dan berhubungan dengan orang lain, dalam situasi itu mereka harus
mampu memecahkan masalah. Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk
mengangkat masalah ini menjadi penelitian dengan judul “URGENSI PENDIDIKAN TOLERANSI DALAM WAJAH PEMBELAJARAN SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN”
Sekolah,
guru, pendidikan, merupakan bagian yang saling terintegrasi. Karakter
pendidikan hendak dibangun dengan tujuan siswa mampu menanggapi serta memfilter
persoalan pendidikan termasuk isu sosial didalamnya. Pendidikan toleransi
harusdiupayakan lebih kuat, lebih melekat. Guru harus tanggap dan tidak
bersikap eklisivitas. Dengan mewabahnya marginalsme, bagaikan virus yang cepat
menjalar dan menyebar diberbagai aspek satuan pendidikan. Sifat rasisme ini
bukan sifat alamiah manusia. Untuk itu penyebarannya sangat mungkin
dimusnahkan. Praktik intoleransi di dalam lini pendidikan memang hasus disikapi
dengan bijaksana. Salah satunya dengan membangkitkan kembali roh pendidikan
toleransi yang selaras dengan pendidikan multikulturalisme. Jika perilaku
intoleran dan rasisme ini semakin merasuk ke dalam dunia pendidikan, sehingga
ada sikap preventif dalam rangka mengantisipasi sikap intoleransi pendidikan.
Pendidikan memang tidak bisa dipisahkan dari gejolak sosial yang ada di
masyarakat.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pendidikan toleransi dalam pendidikan Multikulturalisme?
2. Apakah pendekatan Multikultural dapat meningkatkan kualitas pendidikan?
3.
Apa
yang dimaksud urgensi pendidikan?
4. Peranan Pendidik dalam Penanaman Toleransi?
5.
Bagaiamana
cara meninjau sikap seseorang?
6.
Bagaiamana
cara meninjau sikap toleransi?
- Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pendidikan toleransi dalam pendidikan Multikulturalisme
2.
Untuk
mengetahui pendekatan Multikultural yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan
3.
Untuk
mengetahui makna urgensi pendidikan
4.
Untuk
mengetahui peranan pendidik dalam penanaman toleransi
5.
Untuk
mengetahui tinjauan sikap
6.
Untuk
mengetahui tinjauan toleransi
- Kajian Teori
Andersen dan
Cusher (1994:320) mengemukakan
pendapat bahwa pendidikan multicultural sebagai pendidikan mengenai keragaman
kebudayaan. Kemudian, dipertegas James
Banks (1993: 3) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural sebagai
pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural
ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Dimana
dengan adanya kondisi tersebut sebuah komunitas mampu untuk menerima perbedaan
dengan penuh rasa toleransi.
James Bank menjelaskan,
bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan
satu dengan yang lain, yaitu:
1. Content
Integration,
yaitu
mengintegrasikan
berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi,
dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu.
2. The knowledge
construction process,
yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi
budaya kedalam sebuah mata pelajaran.
3. An equity
paedagogy,
yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan
cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial.
4. Prejudice
reduction,
yaitu
mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran
mereka.Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga,
berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam
upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Menurut Stephen
Hill, pendidikan
multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya melibatkan semua elemen
masyarakat.
Menurut
Fishbein dalam Ali (2008:141) “Sikap
adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten
terhadap suatu objek”.Sedangkan menurut Sherif dalam Agustin
(2011:6)mendefisikan“Sikap sejenis motif sosiogonis yang diperoleh melalui
proses belajar, atau kemampuan internal yang berperan sekaligus mengambil
tindakan lebih-lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertind ak dan
tersedia melalui beberapa alternatif.
Menurut
Randi dalam Imam (2011:32)
mengungkapkan bahwa “Sikap merupakan sebuah evaluasi umum yang dibuat manusia
terhadap dirinya sendiri atau orang lain atas reaksi atau respon terhadap
stimulus (objek) yang menimbulkan perasaan yang disertai dengan tindakan yang
sesuai dengan objeknya”.
Menurut
Sri Utami Rahayuningsih (2004: 1)
sikap adalah suatu bentuk perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak
(favourable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada suatu objek.
Menurut
Thurstone dalam Bimo Walgito (2003:109)
sikap adalah suatu tingkat afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif
dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang positif yaitu
afeksi senang, sedangkan afeksi yang negatif adalah afeksi yang tidak
menyenangkan.
W. J. S. Poerwadarminto dalam "Kamus Umum Bahasa Indonesia" (1986: 184), mengatakan bahwa toleransi
adalah sikap/sifat menenggang berupa menghargai serta memperbolehkan suatu
pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda
dengan pendirian sendiri.
Anis Malik Thoha (2005: 212) berpendapat
Istilah Tolerance (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun
kandungannya. Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan
kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas.
Zuhairi Misrawi (2007: 161) mengemukakan pendapat bahwa Toleransi berasal dari bahasa
Latin, yaitu tolerantia, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan
dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain
agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapat nya salah dan berbeda. Secara
etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa,
terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan
kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis.Ketiga
istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah toleransi.
Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela
dan kelembutan.
Kevin Osborn (1993: 11) mengatakan bahwa toleransi adalah salah satu pondasi terpenting
dalam demokrasi.
Berdasarkan
beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan secara
garis besar bahwa sikap merupakan sebuah tingkat kecenderungan seseorang yang
bersifat positif maupun negatif disertai tindakan-tindakan yang dilakukan
terhadap objek tertentu.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan
Toleransi Termuat dalam Pendidikan Multikulturalisme
Toleransi
sering menyita perhatian masyarakat luas dan setiap kali terjadi kasus
intoleransi. Hal itu membuktikan bahwa toleransi sangat penting untuk dijadikan
konten pendidikan yang harus dipelajari segenap anak bangsa. Selain itu,
pendidikan toleransi sangat penting bagi pertumbuhan kepribadian anak sebagai
makhluk sosial, khususnya di Negara Indonesia yang berpenduduk plural.
Pendidikan secara umum wajib menyisipkan pendidikan toleransi baik di sekolah,
universitas, komunitas,dan lini pendidikan lainnya. Pendidikan toleransi bukan
hanya tanggung jawab pendidik agama saja. Namun, pendidikan dan pendidik
berbeasis agama juga diwajibkan menanamkan lebih dalam mengenai toleransi
terhadap segala perbedaan yang ada dalam dunia pendidikan. Pendidikan agama
diupayakan tidak memanasicivitas akademika soal isu rasis maupun intoleran,
melainkan merangkul segala perbedaan yang ada dalam dunia pendidikan. Agama
memiliki kedudukan yang penting dalam pendidikan nasional.
Dalam
UU 20/2003, pasal 3 menjelaskan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. Multikulturalisme di Indonesia merupakan suatu hal
yang tidak dapat dihindarkan. Namun pada kenyataannya kondisi demikian tidak
pula diiringi dengan keadaan sosial yang merepresentasikan nilai-nilai luhur
bangsa
Indonesia. Bahkan banyak terjadinya
ketidakteraturan dalam kehidupan sosial di Indonesia pada saat ini yang
menyebabkan terjadinya berbagai ketegangan dan konflik. Seiring dengan
perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh adanya globalisasi banyak terjadi
krisis sosial-budaya yang terjadi di masyarakat. Misalnya seperti merosotnya
penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial.
Semakin luasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit social lainnya.Oleh
karena itu, pendidikan dianggap tempat yang tepat untuk membangun kesadaran
multikulturalisme di Indonesia. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan
dapat mewujudkan keteraturan dalam kehidupan sosial-budaya di Indonesia. Beberapa
pendapat para ahli mengenai pendidikan multicultural, diantaranya adalah Andersen dan Cusher (1994:320) mendefinisikanbahwa
pendidikan multicultural sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.
Kemudian, dipertegas James Banks (1993:
3) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people
of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan
sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Dimana dengan adanya kondisi tersebut
sebuah komunitas mampu untuk menerima perbedaan dengan penuh rasa toleransi.
James Bank menjelaskan,
bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan
satu dengan yang lain, yaitu:
1. Content
Integration,
yaitu
mengintegrasikan
berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi,
dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu.
2. The knowledge
construction process,
yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi
budaya kedalam sebuah mata pelajaran.
3. An equity
paedagogy,
yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan
cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial.
4. Prejudice
reduction,
yaitu
mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran
mereka.Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga,
berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam
upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Istilah
pendidikan multikultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif, maupun
normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang
berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup
pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan
strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks
deskriptif ini, kurikulum pendidikan multicultural mestilah mencakup
subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnokultural dan
agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi
dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek
lain yang relevan.Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan
multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju,
dikenal dengan lima pendekatan, yaitu:
1. Pendidikan mengenai perbedaan
kebudayaan atau multikulturalisme
2. Pendidikan mengenai perbedaan
kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.
3. Pendidikan bagi pluralisme
kebudayaan
4. Pendidikan dwi-budaya.
5. Pendidikan multikultural
sebagai pengalaman moral manusia.
2.2 Pendekatan
Multikultural untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Merancang
pendidikan dalam tatanan masyarakat yang penuh dengan permasalahan antar kelompok
seperti di Indonesia memang tidaklah mudah. Hal ini ditambah sulit lagi jika tatanan
masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dalam kondisi seperti
ini, pendidikan multikultural diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan
masyarakat yang toleran. Adapun untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan
sejumlah pendekatan.
Beberapa
pendekatan dalam pendidikan multikultural (James Bank, 2002) tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Tidak lagi
menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan, atau pendidikan multikultural
dengan program-program sekolah formal.
2. Menghindari
pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
3.
Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi
kedalam kebudayaan baru. Pendidikan multikultural bagi pluralisme budaya dan
pendidikan multikultural tidak dapat disamakan dengan logis.
4. Pendidikan
multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan
mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara
proporsional.
Pendekatan
ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia.
Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural berpotensi untuk
menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik. Keempat pendekatan
tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat
adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang hidup dan bekerja sama
dalam waktu yang relatif lama serta diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan,
dan agama.Masyarakat mempunyai peranan penting dalam perkembangan intelektual
dan kepribadian individu peserta didik. Sebab, masyarakat merupakan tempat yang
penuh alternatif dalam upaya memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis
multikultural.Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung
jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multikultural.
Hal
ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal
yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan di masa yang akan
datang. Indonesia adalah negara yang terdiri atas beragam masyarakat yang
berbeda seperti agama, suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain
sebagainya menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk.
Dalam kehidupan yang beragam seperti ini menjadi tantangan untuk mempersatukan
bangsa Indonesia menjadi satu kekuatan yang dapat menjunjung tinggi perbedaan
dan keragaman masyarakatnya. Pentingya pendidikan multikultural ini diakarenakan
agama, suku bangsa dan tradisi, secara aktual merupakan ikatan yang terpenting
dalam kehidupan siswa Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu
akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan
sebagai senjata politik atau fasilitas individu individu atau kelompok ekonomi.
Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah
masyarakat.
Hal
ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada anak
anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru bertanggung
jawab dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan dibantu oleh orang
tua dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Namun pendidikan multikultural bukan hanya sebatas kepada anak-anak usia
sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya lewat acara atau
seminar yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam keberagaman menjadikan
masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka hidup dalam perbedaan dan
keragaman. Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu
sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak
meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan
untuk demokrasi yang ada seperti sekarang. Penyelenggaraan pendidikan multikultural
di dunia pendidikan diakui dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi
yang terjadi di masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri atas
berbagai unsur sosial dan budaya. Dengan kata lain, pendidikan multikultural
dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik social budaya.
Struktur
kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan.
Saat ini pendidikan multicultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan
bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar di era globalisasi dan
menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Pada
kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi yang
benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan dapat
mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan model masing masing sesuai
dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya sendiri.Model-model pembelajaran
mengenai kebangsaan memang sudah ada.
Namun,
hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku,
budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari
realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa
pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih sangat kurang.Maka,
penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila
terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak
bermusuhan, dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku,
bahasa, dan lain sebagainya. Menurut
Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya
melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidimensi
aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural. Perubahan yang diharapkan
adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat,
dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
2.3 Urgensi
Pendidikan Toleransi
Bentuk
pendidikan yang paling tepat dalam masyarakat multikultural adalah pendidikan yang
mengedepankan toleransi dan sikap saling menghormati segala perbedaan.
Pendidikan toleransi ini banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka
mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian
terkenal dengan sebutan “pendidikan toleransi”. Tujuannya, pendidikan dianggap sebagai
instrumen penting dalam penanaman nilai toleran. Dengan diberlakukannya “pendidikan”
sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter
setiap individu yang dididiknya dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi
muda, terlebih melalui pendidikan agama.
Peran
dan fungsi pendidikan toleransi diantaranya adalah untuk meningkatkan toleransi
peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan
keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan
sikap toleransi.
Salah
satu tujuan pendidikan adalah menyiapkan generasi penerus bangsa yang memiliki
kompetensi sehingga mampu bersaing di dunia nyata. Kompetensi yang dimaksud
yaitu kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, keterampilan dan sosial.
Kompetensi social merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh setiap
individu karena setiap manusia tentu tidak bisa lepas dari kegiatan interaksi
dengan masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat di Indonesia bukan perkara yang
mudah mengingat masyarakat kita memiliki keragaman yang sangat tinggi. Hidup di
tengah-tengah perbedaan akan menyulitkan bagi individu yang tidak mampu
menerima dan menghargai perbedaan tersebut.
Setiap
individu di masyarakat memiliki ciri khas, latar belakang, agama, suku dan bahasa
yang berbeda. Banyaknya perbedaan tersebut merupakan sebuah potensi yang dapat
memicu konflik dan perpecahan di masyarakat apabila tidak mampu disikapi secara
bijak. Disinilah diperlukan peranan manusia Indonesia yang mampu bertoleransi
terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat agar keutuhan dan persatuan
bangsa tetap terjaga. Pembentukan karakter pada setiap individu banyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Setiap
individu dilahirkan dengan membawa sifat-sifat tertentu yang diturunkan secara
genetis (factor internal). Selain faktor internal pembentukan karakter juga
dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa pengaruh lingkungan dan pembiasaan.
Faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk karakter
setiap individu.
Apabila
individu tersebut berada pada lingkungan yang baik dan belajar tentang sesuatu
yang baik maka akan baik pula individu tersebut. Begitu pula sebaliknya,
apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang tidak baik dan belajar
tentang sesuatu yang kurang baik maka akan kurang baik pula individu tersebut.
Besarnya pengaruh lingkungan (factor eksternal) dalam membentuk karakter
pribadi seorang individu ini memicu setiap orang untuk belajar menjadi individu
yang lebih baik.
Hal
tersebut dapat dilakukan dengan cara menempatkan diri pada lingkungan yang
mendukung dan membuat seseorang menjadi individu yang mampu bersikap dan
bersosialisasi dengan lingkungannya. Lingkungan yang baik tersebut diharapkan
dapat merubah karakter suatu individu menjadi lebih baik dengan cara menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga diharapkan kebiasaan tersebut akan terus
berlanjut dan dapat diterapkan dalam kehidupan.Lingkungan sekolah merupakan
suatu lingkungan dimana seseorang belajar untuk menjadi individu yang menguasi
ilmu pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup dan kemampuan hidup
bermasyarakat. Seseorang yang telah mendapatkan pendidikan diharapkan dapat
mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di dalam kehidupan sekaligus mampu hidup berdampingan
di masyarakat. Jadi, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam
membentuk kepribadian seorang individu yang tidak hanya menguasai ilmu
pengetahuan saja namun juga mampu hidup bermasyarakat secara harmonis. Peranan
pendidikan dalam membentuk karakter individu ini seharusnya disadari dengan
baik oleh para pemegang kepentingan pendidikan di negeri ini.
Pendidikan
seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada penguasaan aspek kognitif saja
namun juga harus menitikberatkan pada aspek sikap dan perilaku iswa (afektif).
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah
membagi tiga ranah pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa yaitu ranah
kognitif, afektif dan psikomotor. Namun kenyataannya bahwa guru sebagai ujung tombak
di lapangan masih terfokus hanya pada aspek kognitif saja. Kenyataan tersebut
tentu tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah.
2.4 Peranan
Pendidik dalam Penanaman Toleransi
Guru
harus menjadi agen perubahan dalam membentuk anak didik yang memiliki rasa
toleransi terhadap sesama. Tugas tersebut tentu tidak mudah namun ada beberapa
poin penting yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam memulai dan berinovasi
dengan pendidikan berbasis karakter tersebut, antara lain:
1.
Mengubah orientasi pembelajaran dengan memberikan perhatian lebih pada ranah
afektif. Penerapan indikator afektif tersebut juga harus dibarengi dengan
sosialisasi ke siswa. Mungkin sebagian besar siswa masih menganggap pengetahuan
dalam menyelesaikan soal-soal ulangan dan tugas adalah yang paling penting
dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa harus diberikan informasi bahwa sikap
dan perilaku mereka juga ikut dinilai. Hal ini diharapkan mampu memotivasi
siswa untuk bersikap lebih baik dengan guru maupun dengan sesama temannya. Mekanisme
penilaian yang logis untuk mengukur ketercapaian indicator afektif tersebut
adalah dengan metode observasi oleh guru dan metode angket oleh siswa. Guru
membuat instrumen pengamatan sikap yang di dalamnya memuat poin-poin penilaian
dengan skala tertentu beserta dengan rubrik penilaiannya.
Poin-poin
penilaian tersebut misalnya dapat berupa pernyataan sebagai berikut: Siswa
mampu menghargai pendapat orang lain, Siswa tidak memotong pembicaraan orang
lain selama proses diskusi, Siswa tidak memaksakan pendapatnya kepada orang
lain, Siswa mampu menerima dengan lapang dada apabila dirinya salah, Siswa
mampu mengutarakan pendapat dengan sopan, Siswa tidak menyinggung perasaan
orang baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan lain sebagainya. Teknis penilaiannya
yaitu guru mengamati sikap siswa selama proses diskusi satu persatu dan
memberikan penilaian pada instrumen yang telah disiapkan. Selain metode
observasi sikap oleh guru, mekanisme penilaian yang kedua yaitu dengan
memberikan angket penilaian kepada siswa. Angket yang diberikan disini terdiri
dari dua macam yaitu angket penilaian diri dan angket penilaian teman. Pertama,
angket penilaian diri merupakan angket yang berfungsi sebagai refleksi diri
bagi siswa. Dengan angket tersebut siswa akan menilai dirinya sendiri apakah
dia sudah memenuhi seluruh poin-poin penilaian yang diajukan. Sedangkan angket
yang kedua yaitu angket penilaian teman. Angket tersebut berfungsi sebagai
penilaian terhadap siswa lain.
2.
Guru Menjadi Contoh Model dalam Berperilaku di Kelas. Guru merupakan sosok
yangmenjadi panutan baik dari segi pengetahuan maupun kepribadian. Guru adalah
model yang akan ditiru oleh siswa dalam bersikap. Kita harus ingat bahwa siswa
belajar dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, mereka alami, dan mereka
rasakan. Kita juga harus ingat dengan kata-kata bijak berikut: “Jika anak
dibesarkan dalam toleransi, maka ia akan belajar bersabar. Begitupun
sebaliknya, jika anak dibesarkan dalam kecaman maka ia akan belajar
menyalahkan”. Kata-kata tersebut harus menjadi motivasi bagi para guru
untukmmenunjukkan contoh yang baik kepada siswa dalam menghargai toleransi
terhadap sesama. Guru harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah
laku. Tutur kata dan tingkah laku yang tidak tepat pada tempatnya akan berakibat
buruk pada siswa. Mereka bisa saja meniru tutur kata dan tingkah laku kita
tanpa memperhitungkan benar salahnya.
Sebagai
contoh sederhana, apabila kita mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa dan
jawaban yang mereka berikan tidak sesuai dengan yang kita harapkan maka
sebagian besar guru akan berkata “Salah!!! Tidak tepat!!!”. Hal ini memang
sering tidak kita sadari tetapi dengan kita sering menyalahkan pendapat atau
jawaban siswa maka secara tidak langsung siswa juga telah belajar untuk menyalahkan
pendapat orang lain. Guru seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata bermakna
negatif yang dapat melemahkan kreatifitas dan mental siswa.Guru sebagai contoh
model bagi siswa harus menata ulang tutur kata dan tingkah lakunya dihadapan
siswa agar dapat memberikan penguatan positif terhadap pembentukan kepribadian
siswa.
Apabila
guru mampu bertoleransi dengan baik maka siswa juga akan belajar melakukan hal
serupa.Membiasakan siswa menghargai perbedaan. “Sesuatu yang baik lahir dari
kebiasaan yang baik pula”. Kalimat tersebut harusnya menjadi sebuah pedoman
bagi guru dalam membentuk sikap toleransi siswa. Sikap toleransi terhadap
sesama tidak muncul begitu saja melainkan dibentuk melalui sebuah proses
panjang. Guru harus menempatkan siswa pada kondisi yang menghadirkan banyak
perbedaan-perbedaan. Pada kondisi demikian guru dapat melatih siswa agar bisa
menghargai setiap perbedaan yang ada. Sebagai contoh sederhana guru memberikan
sebuah permasalahan untuk diselesaikan secara berkelompok. Guru kemudian
mengadu pendapat antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Dengan
perbedaan pendapat tersebut siswa dilatih untuk tetap saling menghormati dan
menghargai dengan sesama temannya.Cara lain yang mungkin tidak terpikirkan
sebelumnya yaitu guru sebaiknya tidak memberikan bentuk soal pilihan ganda
kepada siswa. Soal bentuk pilihan ganda terlalu sempit untuk pola pikir siswa.
Beberapa prnyataan diatas dapat dijadikan acuan bagi guru maupun pendidik yang
bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan untuk membentuk sikap toleransi siswa.
Satu hal yang paling penting adalah sebelum generasi ini berubah sikap untuk
saling menghargai segala perbedaan yang ada, pendidik dan seluruh civitas
akademika dalam lini pendidikan diharapkan melakukan refleksi diri terlebih
dahulu apakah sudah mampu bertoleransi ataukah belum. Dengan demikian maka
penularan sikap toleransi kepada generasi Indonesia, tidak mustahil dilakukan.
2.5
Tinjauan Tentang Sikap
1.Pengertian Sikap
Sikap adalah pernyataan evaluatif
terhadap objek, orang atau peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang
terhadap sesuatu. Sikap mungkin dihasilkan dari perilaku tetapi sikap tidak
sama dengan perilaku. Sikap merupakan bagian terpenting dalam berinteraksi
dengan orang lain. Sikap dapat bersifat positif dan negatif. Sikap positif
memunculkan kecendrungan untuk mendekati, menerima, bahkan untuk mengharapkan
kehadiran objek tertentu. Sedangkan sikap negative dapat
memunculkan kecendrungan untuk menjauhi, menghindari keberadaan suatu objek
yang tidak disukai.
Menurut
Fishbein dalam Ali (2008:141) “Sikap
adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten
terhadap suatu objek”.Sedangkan menurut Sherif dalam Agustin
(2011:6)mendefisikan“Sikap sejenis motif sosiogonis yang diperoleh melalui proses
belajar, atau kemampuan internal yang berperan sekaligus mengambil tindakan
lebih-lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertind ak dan tersedia
melalui beberapa alternatif.
Menurut
Randi dalam Imam (2011:32)
mengungkapkan bahwa “Sikap merupakan sebuah evaluasi umum yang dibuat manusia
terhadap dirinya sendiri atau orang lain atas reaksi atau respon terhadap
stimulus (objek) yang menimbulkan perasaan yang disertai dengan tindakan yang
sesuai dengan objeknya”.
Menurut
Sri Utami Rahayuningsih (2004: 1)
sikap adalah suatu bentuk perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak
(favourable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada suatu objek.
Menurut Thurstone dalam Bimo Walgito (2003:109) sikap adalah suatu tingkat afeksi
baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek
psikologis. Afeksi yang positif yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi yang negatif
adalah afeksi yang tidak menyenangkan.
Berdasarkan
beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan secara
garis besar bahwa sikap merupakan sebuah tingkat kecenderungan
seseorang yang bersifat positif maupun negatif disertai tindakan-tindakan yang
dilakukan terhadap objek tertentu.
2.6 Tinjauan Tentang Toleransi
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia Toleransi yang berasal dari kata
“toleran” itu sendiri berarti
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan
sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.Toleransi
juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan. Secara bahasa atau etimologi toleransi berasal dari bahasa
Arab”tasamuh”yang artinya ampun, maaf dan lapang dada. Secara terminologi, menurut
Umar Hasyim, toleransi yaitu pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau
kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur
hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan
menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan
syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Namun
menurut W. J. S. Poerwadarminto
dalam "Kamus Umum Bahasa Indonesia" (1986: 184), toleransi adalah sikap/sifat menenggang berupa menghargai
serta memperbolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang
lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.
Menurut
Anis Malik Thoha (2005: 212) Istilah Tolerance (toleransi)
adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun kandungannya. Istilah ini pertama
kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan budayanya
yang khas.
Menurut
Zuhairi Misrawi (2007: 161) Toleransi
berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, yang artinya kelonggaran,
kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa
toleransi merupakan sikap untuk
memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya,
sekalipun pendapat nya salah dan berbeda. Secara etimologis, istilah tersebut
juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa, terutama pada revolusi
Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan
persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis.
Ketiga
istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah toleransi.
Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela
dan kelembutan. Kevin Osborn (1993: 11)
mengatakan bahwa toleransi adalah salah satu pondasi terpenting dalam
demokrasi. Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan
pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain. Dari beberapa definisi
di atas penulis menyimpulkan bahwa sikap toleransi adalah suatu sikap atau tingkah
laku dari seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain dan memberikan
kebenaran atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia.
Pendidikan
Kewarganegaraan secara umum bertujan untuk membina manusia Indonesia agar mampu
membangun demi mewujudkan masyarakat pancasila yang hendaknya dibangun sering
disebut sebagai masyrakat sosialistis
agamamis (religius). Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan nasional
menurut pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas yang berbunyi: “Tujuan
Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab bermasyarakat”.Fungsi Pendidikan Nasional Undang-undang
No 20 tahun 2003 yang terdapat dalam pasal 3 yaitu: “Pendidikan
nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta reradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” Pada Pasal 12
Undang-undang No 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik seagama.
Pendidikan
kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan
pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara
dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) agar menjadi
warga Negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara, dan secara umum
bertujuan membina Indonesia menjadi manusia yang taat pada Tuhan Yang Maha Esa.
Penyelenggaraan pendidikan nasional harus mampu meningkatkan, memperluas, dan
menetapkan suatu Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dan dalam hal ini
pembinaan sikap toleransi antar siswa sangat berperan dan terbukti dan
sebagaimana kita ketahui bahwa toleransi merupakan syarat mutlak untuk
mengamalkan pancasila dengan sebaik-baiknya. Dan dengan demikian bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang memiliki keyakinan dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian pula dalam memeluk
agama menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pengembangan kecerdasan afektif atau kecerdasan sikap terutama di
sekolah masih seringkali dikesampingkan. Lembaga pendidikan persekolahan
menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi semua golongan dan lapisan
masyarakat, dan itu mencerminkan adanya masyarakat yang heterogen. Hal ini
berarti bahwa lembaga persekolahan berfungsi sebagai suatu sistem pembimbing
kecerdasan bermasyarakat. Peserta didik dibimbing untuk pandai bergaul baik
dalam dimensi horizontal antar sesama peserta didik maupun dalam dimensi
vertikal dengan para pendidik termasuk kepala sekolah dan para karyawan. Dalam
pergaulan, selalu ada aturan normatif yang dipedomani. Karena itu pula, peserta
didik mendapat bimbingan untuk hidup taat terhadap peraturan yang ada.
(Suhartono, 2009, hlm 47-48)
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan
menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran bagi peranannya di masa yang akan datang.
Sesuai dengan tujuan pendidikan untuk menyiapkan peserta didik ke
arah yang lebih baik, salah satu pelajaran yang juga penting dalam dunia
pendidikan dipersekolahan yakni Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ilmu Pengetahuan
Sosial merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang dijabarkan dari materi
cabang-cabang ilmu sosial. Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki tujuan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik agar peka terhadap permasalahan yang
sedang terjadi di masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ilmu Pengetahuan Sosial
juga betujuan agar peserta didik memiliki keterampilan mengatasi setiap masalah
yang terjadi sehari-hari baik yang terjadi pada dirinya sendiri atau yang
terjadi pada masyarakat umum.
Dari hasil wawancara dengan guru, didapatkan informasi bahwa kelas
VII-C memang memiliki tingkat sikap toleransi yang rendah dibandingkan kelas
yang lainnya. Dan dari hasil wawancara dengan siswapun diketahui bahwa siswa
merasakan hal yang sama, bahwa siswa dikelas VII-C masih memiliki tingkat
toleran yang rendah.
Pengembangan
kecerdasan afektif atau kecerdasan sikap terutama di sekolah masih seringkali
dikesampingkan. Lembaga pendidikan persekolahan menyelenggarakan kegiatan
pendidikan bagi semua golongan dan lapisan masyarakat, dan itu mencerminkan
adanya masyarakat yang heterogen. Hal ini berarti bahwa lembaga persekolahan
berfungsi sebagai suatu sistem pembimbing kecerdasan bermasyarakat. Peserta
didik dibimbing untuk pandai bergaul baik dalam dimensi horizontal antar sesama
peserta didik maupun dalam dimensi vertikal dengan para pendidik termasuk
kepala sekolah dan para karyawan. Dalam pergaulan, selalu ada aturan normatif
yang dipedomani. Karena itu pula, peserta didik mendapat bimbingan untuk hidup
taat terhadap peraturan yang ada. (Suhartono, 2009, hlm 47-48).
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan
menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran bagi peranannya di masa yang akan datang.
Sesuai dengan tujuan
pendidikan untuk menyiapkan peserta didik ke arah yang lebih baik, salah satu
pelajaran yang juga penting dalam dunia pendidikan dipersekolahan yakni Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan bagian dari
kurikulum sekolah yang dijabarkan dari materi cabang-cabang ilmu sosial. Ilmu
Pengetahuan Sosial memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik
agar peka terhadap permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Ilmu Pengetahuan Sosial juga betujuan agar peserta didik
memiliki keterampilan mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik
yang terjadi pada dirinya sendiri atau yang terjadi pada masyarakat umum. Menurut Hasan (1995, hlm. 98) pada umumnya tujuan
pembelajaran IPS dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, pengembangan
kemampuan intelektual siswa dalam memahami disiplin ilmu sosial, kemampuan
berpikir dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, serta kemampuan prosesual dalam
mencari informasi, mengolah informasi dan mengkomunikasikan hasil temuan yang
terkait disiplin ilmu sosial. Kedua, pengembangan kemampuan dan rasa tanggung
jawab sosial sebagai anggota masyarakat, warga negara serta warga dunia dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dan benar. Ketiga, pengembangan Sikap
toleransi ini sangat diperlukan dalam pengembangan diri siswa karena didukung
oleh beberapa alasan. Pertama, fakta dilapangan yang peneliti uraikan bahwa
sikap atau karakter toleransi siswa masih dikatergorikan rendah. Kedua,
peneliti berpendapat bahwa sikap ini perlu dimiliki terutama mempersiapkan diri
siswa dalam memasuki era global dimana mereka akan dihadapkan dengan masyarakat
yang multikultural, majemuk, dan perubahan-perubahan lain yang akan terjadi.
Ketiga, sikap toleransi siswa perlu dan dapat dikembangkan dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sehari-hari bahkan di masa yang akan
datang. kepribadian siswa berkenaan dengan pengembangan sikap yang
positif, nilai, norma, dan moral yang menjadi panutan siswa.
Meskipun semua mata pelajaran mempunyai tanggungjawab yang sama
untuk membimbing peserta didik, tetapi mata pelajaran IPS memiliki porsi serta
peranan yang cukup besar dalam mendidik siswa untuk menjadi anggota masyarakat
yang kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan mengembangkan sikap toleransi
pada diri siswa. Toleransi dimaknai sebagai apresiasi terhadap kebinekaan atau
keberagaman. Raka (2011: 232) memberikan indikator siswa dari karakter
toleransi. Pertama, bisa menghargai pendapat yang berbeda. Kedua, bisa
berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya,
kepercayaan dan suku. Ketiga, tidak menghakimi orang yang berbeda pendapat,
keyakinan atau latar belakang budaya. Keempat, tidak mendominasi atau ingin
menang sendiri. Sedangkan indikator karakter siswa di SMP adalah: pertama tidak
mengganggu teman yang berbeda pendapat, kedua menghormati teman yang berbeda
adat istiadatnya, ketiga bersahabat dengan teman sekelas lain.
2.7 PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan dalam pengembangan sikap toleran di kelas
VII-C SMP Negeri 44 Bandung, maka diperlukan cara serta langkah yang harus
peneliti tempuh. Maka dalam hal ini peneliti menggunakan pembelajaran Discovery
Learning dalam pembelajaran IPS untuk mengembangkan sikap toleransi siswa.
Dengan menggunakan pembelajaran Discovery Learning maka peserta didik
dituntut untuk menganalisis masalah yang ada disekitarnya terkait dengan
mutlikultural yang ada di lingkungannya. Dengan begitu peserta didik diajak
untuk menggali dan memecahkan permasalahan yang ada sehingga pembelajaran lebih
meaningful dan bermakna bagi peserta didik.
Anitah (dalam Arinawati, 2014, hlm. 2) menyatakan bahwa, discovery
learning merupakan suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pemecahan
masalah untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Discovery learning yang
menuntut siswa untuk melakukan sebuah penemuan terhadap suatu konsep, sehingga
jika mereka menemukan dan mengalaminya sendiri akan jauh lebih lama
mengingat dan lebih baik pemahamannya, karena pemahamannya yang
lebih inilah membuat siswa memecahkan masalah dengan lebih baik. Salah satu
manfaat yang dapat diperoleh dari pembelajaran Discovery Learning adalah
munculnya sikap keilmiahan siswa, misalnya sikap objektif, rasa ingin tahu
untuk menyelesaikan masalah dengan baik, dan berpikir kritis. Seperti yang
dikemukakan oleh Maxim (2010, hlm. 41) Good social studies teacher involved
children in doing something-discovering, processing, and applying information;
talking, listening, writing, reading; manipulating, building, doing;
investigating, exploring. Probing; collaborating, cooperating, team building.
Effective social studies teachers degign, make, and use a variety of strategies
and materials that help children learn about their social world in anggaging
and instructive way. Artinya guru IPS yang baik adalah guru yang melibatkan
peserta didik untuk melakukan sesuatu atau menemukan suatu permasalahan,
mengolah, dan memaknai informasi; berbicara, mendengarkan, menulis, membangun,
melakukan; penelusuran, menyelidiki; bekerjasama. Pembelajaran yang efektif
adalah pembelajaran yang dibuat dan digunakan agar peserta didik belajar
mengenai dunia nyata yang kemudian akan menarik dan bermakna bagi siswa.
Sementara
Hanafiah dan Suhana (2012, hlm. 79) mengemukakan keunggulan dari pembelajaran
penemuan yang meliputi: pertama membantu peserta didik untuk mengembangkan
kesiapan serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif, kedua peserta
didik memperoleh pengetahuan secara individual sehingga dapat dimengerti dan
mengendap dalam pikirannya, keyiga dapat membangkitkan motivasi dan gairah belajar
peserta didik untuk belajar lebih giat lagi, keempat memberikan peluang untuk
berkembang dan maju sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing, kelima
memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses menemukan
sendiri karena pembelajaran berpusat pada peserta didik dengan oeran guru yang
terbatas.
Berdasarkan pendapat mengenai keunggukan-keunggulan yang telah
dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa model discovery learning dapat
menumbuhkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran IPS serta dapat
menumbuhkan motivasi kepada siswa untuk melakukan proses penemuan. Model
penemuan ini juga bisa meningkatkan kemandirian siswa dalam belajar karena
disini guru hanya sebagai pembimbing siswa dalam melakukan penemuan.Maka
berangkat dari keadaan lapangan diatas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat
tema ini sebagai salah satu tema dalam penelitian. Oleh karena itu peneliti
terdorong untuk mengangkat penelitian dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas
dengan judul “Pengembangan Sikap Toleran Terhadap Perbedaan Pendapat Siswa
Melaui Discovery Learning dalam Pembelajaran IPS. ”(Penelitian Tindakan
Kelas Terhadap Siswa Kelas VII-C SMP Negeri 44 Bandung)”. Dengan rumusan
masalah dalam penelitian yakni: Pertama, bagaimana guru mendesain perencanaan
pembelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning untuk
mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaan pendapat siswa di kelas VII-C
SMP Negeri 44 Bandung?. Kedua, bagaimana guru mengimplementasikan pembelajaran
IPS dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning untuk
mengembangkan sikap toleran toleran terhadap perbedaan pendapat siswa di kelas
VII-C SMP Negeri 44 Bandung?. Ketiga, bagaimana hasil pembelajaran IPS dengan
menggunakan model pembelajaran Discovery Learning untuk mengembangkan
sikap toleran.
2.8 METODE
Penelitian dilakukan di SMP Negari 44 Bandung kelas VII-C. Hal ini
didasarkan atas hasil observasi awal peneliti, dan juga hasil diskusi dengan
guru mitra. Permasalahan yang terdapat pada kelas VII-C ini adalah sikap
toleran di dalam diri siswa yang masih dikategorikan rendah. Adapun jumlah
siswa dalam kelas tersebut adalah 36 orang yang terdiri dari 17 siswi perempuan
dan 19 siswa laki-laki.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK)
mengacu pada model Kemmis dan Taggart. Secara mendetail Kemmis dan Taggart
(dalam Wiriaatmadja, 2012, hlm. 66) menjelaskan tahap-tahap penelitian tindakan
yang dilakukannya. Pada tahap awal adalah perencanaan, kemudian pelaksanaan
tindakan, pengamatan (observasi), dan yang terakhir adalah refleksi.
2.9 HASIL
PENELITIAN
- Peningkatan Hasil Siklus PTK diskusi didalam kelompok Siswa
Dari
diskusi kelompok peneliti bisa mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman
konsep siswa dari beberapa indikator yang sudah disepakati. Adapun kriteria
dalam penilaian antara lain sebagai berikut : (a) berpendapat dalam kelompok;
(b) kerjasama dalam kelompok; (c) menghargai pendapat kelompok. Berikut rincian
hasil dari pengamatan yang telah dilaksanakan oleh peneliti.
- Hasil Persentase Penilain Diskusi Berpendapat dalam Kelompok
Pada
siklus I berpendapat dalam kelompok siswa yang mendapat penilaian baik (B)
sebanyak 8,3%. Adapun yang mendapat penilaian cukup (C) yaitu sebesar 50% dan
siswa yang mendapat penilaian kurang (K) sebanyak 0%. Hal tersebut menujukkan
bahwa berpendapat dalam kelompok I ini telah mendapat penilaian yang cukup
baik.
Selanjutnya,
pada siklus II sudah mengalami peningkatan yang sangat baik. Dapat dilihat pada
diagram di atas 50% siswa di kelas mendapatkan penilaian baik (B) yaitu sebesar
66.7%.
Hal ini sudah membuktikan bahwa siswa sudah mulai terbiasa
berpendapat dalam kelompok. Siswa yang mendapatkan penilaian cukup (C) sebanyak
33,3% dan siswa yang mendapatkan penilaian kurang (K) sebanyak 0%. Pada tahap
selanjutnya yaitu pada siklus III mengalami presentase yang paling tinggi
dibandingkan siklus ke I dan ke II. Adapun siswa yang mendapat penilaian baik
(B) sebanyak 100% hal ini membuktikan bahwa mayoritas siswa sudah mampu
berpendapat dalam kelompok. Sehingga semua siswa sudah dikatakan berhasil dan
memenuhi tujuan penelitian dalam meningkatkan berpendapat dalam kelompok.
BAB III
KESIMPULAN
Organisasi
sekolah beserta atmosfir pendidikan diharapkan mampu mewujudkan jalan menuju
kehidupan secara personal dan sosial. Sekolah sebagai cerminan dapat
mempraktikkan sesuatu yang telah diajarkanya. Dengan demikian, lingkungan
sekolah tersebut dapat dijadikan percontohan bagi peserta didik tentang
toleransi dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Dengan penanaman nilai
pendidikan multikultral dan toleransi di dalam sekolah, peserta didik dapat
mempelajari adanya kurikulum-kurikulum umum di dalam kelas-kelas heterogen.Hal
ini diperlukan guna mendorong adanya persamaan ideal, membangun perasaan
persamaan, dan memastikan adanya input dari peserta didik yang memiliki latar
belakang berbeda. Melalui sistem pendidikan multikultural dan toleransi akan
berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada
peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para
siswa akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan
agamaagama lain. Pendidikan multikultural memiliki nilai strategis dalam
pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang difokuskan pada pengembangan
perspektif multikultural dalam kehidupan adalah tidak mungkin untuk menciptakan
keberadaan aneka ragam budaya di masa depan dalam masyarakat Indonesia.
Pentingya
pendidikan multikultural ini diakarenakan, Pertama, Agama, suku bangsa dan
tradisi, secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan siswa
Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak
kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata
politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus
ini, agama selalu dikaitkan denganetnis atau tradisi kehidupan dari sebuah
masyarakat.Masing masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk
menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian
dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui
pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip siswa dalam
menghargai agama.Kedua,
Kepercayaan
merupakan unsur yang penting dalam kehidupan bersama. Dalam masyarakat yang
plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko
dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga
timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/ plural.Ketiga, Toleransi,
merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi
dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan
adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu
mempertahankan keyakinannya. Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia
yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan
multikultural.
Pendekatan
dalam pendidikan multicultural dan toleran yang diterapkan oleh guru dalam
pembelajaran yang diberikan kepada siswa yang berbeda secara kultural
mengarahkan atau mendorong siswa memiliki perasaan positif, mengembangkan
konsep diri, mengembangkan toleransi dan mau menerima orang lain. Guru berupaya
menciptakan arena belajar dalam satu kelompok budaya.Pendidikan multicultural
dilakukan sebagai upaya mendorong persamaan struktur sosial dan toleransi
kultural dengan pemerataan kekuasaan antar kelompok. Pendidikan multikultural
sekaligus sebagai upaya rekontruksi sosial agar terjadi persamaan struktur
sosial dan toleransi kultural dengan tujuan menyiapkan agar setiap siswa aktif mengusahakan
persamaan struktur sosial. Pendidikan multikultural menjadi tanggung jawab kita
bersama, tidak hanya di lingkup sekolah tapi juga dirumah dan lingkungan social
dengan menanamkan dalam benak pikiran siswa dan anak-anak kita, bahwa perbedaan
merupakan sunnatullah yang harus dijalani, semua sudah ada yang mengatur, maka,
tidak selayaknya kita lari dari tanggungjawab.
Mari memupuk dan kembangkan pendidikan multikultural
dan toleransi dalam wadah pembelajaran. Perbedaan agama, suku, adat, istiadat yang
berbeda telah berhasil dirawat bangsa Indonesia selama 71 tahun ini. Bukan
perkara mudah bertahan begitu gagah di antara masalah rasisme yang begitu
mendebatkan. Mengapa ini dibangkitkan kembali untuk mencederai negeri ini? Musuh
sejatinya hanya satu yaitu “keakuan”. Lantas mengapa harus banyak yang terluka
dan menjadi korban perbedaan ini? Pendidikan toleransi tidak boleh kehilangan
ruhnya dalam praktik pembelajarannya. Pendidikan toleransi bukan hanya soal teori,
namun lebih mendalam secara praktik untuk menghargai setiap perbedaan yang ada
dalam dunia pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal PENGEMBANGAN SIKAP TOLERAN TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT SISWA
MELALUI DISCOVERY LEARNING DALAM
Jurnal PEMBELAJARAN IPS (Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas
VII-C SMP Negeri 44 Bandung)
Jurnal
Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA Peranan Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam Membina Sikap
Toleransi
Antar Siswa
Agung
Suharyanto*
Suciartini
Ayu N.N.(2017). JURNAL
PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Emiarti Emi.(2016). JURNAL PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN
BERMAIN PERAN PADA MATERI KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS PENDIDIKAN DAN SIKAP TOLERANSI SISWA.Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandar lampung
Arikunto, Suharsimi. 1993.Metodelogi
Penelitian. Bandung: Rineka Cipta.
Ansori Mohammad, Ali Mohammad. 2008 Psikologi
Remaja. Bumi Aksara
Budimansyah, D. 2008. Pembelajaran
pendidikan kesadaran hokum. Bandung: PT.Genesindo
Agustin,Mubiar. 2011.Permasalahan Belajar
dan Inovasi Pembelajaran.Bandung: PT Refika Aditama.
Anis Malik Thoha,Tren Pluralisme
Agama(Jakarta : Perspektif, 2005), 212.Dahlan. 1984.Model-Model
Mengajar.Bandung:CV Diponegoro
Djamarah, Saiful Bahri dan Azwan.
2006.Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rineka Cipta.Jauhari, Imam B.
2011.Teori Sosial Proses Islamisasi Dalam Sistem
IlmuPengetahuan.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Komalasari, Kokom. 2010.Pembelajaran
Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Refika Aditama: Bandung.
Martinis Yamin. 2008. Desain Pembelajaran
Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Gaung Persada Press.
Pratiwi, Rina. 2013.Pengaruh
Pemahaman Materi Hak Asasi Manusia Terhadap Sikap Kemanusiaan Siswa Kelas VII
Di Smp Negeri 2 Hulu Sungka Kabupaten Lampung Utara Tahun Pelajaran 2012/2013.Bandar
Lampung : Universitas Lampung
Sardiman, AM. 2004.Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Uno, Hamzah. B. 2008. Model
Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.Wahab, A. A. 2010.
Metode dan Model-Model Mengajar.
Bandung: Alfabeta.Walgito, Bimo. 2003.
Teori-Teori Psikologi Sosial.
Yogyakarta: Andi Offset
Zuhairi Misrawi,Alquran Kitab
Toleransi (Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), 161
Winarno, S. 1982. Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar dan Dasar Metodologi. Bandung: Tarsito.
Sumber
Buku
Departemen Pendidikan
Nasional. (2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarata:
Departemen Pendidikan Nasional Hasan, Hamid. (1995). Pendidikan Ilmu Sosial.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Hanafiah, N. dan
Suhana, C . (2012). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Riefka
Aditama
Hassan, H. (1996). Pendidikan
Ilmu-Ilmu Sosial. Bandung: Jurusan Sejarah IKIP.
Maxim, George.
(2010). Dinamyc Sosial Studies For Constructivist Classrooms. West
Chester University.
Naim, Ngainun (2011).
Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar